Populisme Keok
BARANG siapa mengira populisme bakal merasuk lebih luas di Eropa, silakan kecewa berat. Populisme keok di pemilu Belanda. Efek domino Brexit dan kemenangan Donald Trump menjadi presiden AS kandas. Kata Andrew Rosenthal, kolumnis The New York Times, orang Belanda ternyata lebih cerdas ketimbang orang Amerika. Kekalahan Geert Wilders dan kemenangan Perdana Menteri petahana Mark Rutte dalam pemilu Belanda jelas berita bagus bagi yang berpikiran waras.
Wilders mengusung pikiran ‘sinting’ populisme, yaitu bukan hanya antiimigrasi, melainkan juga anti-Islam, menyamakan Quran dengan Mein Kampf-nya Adolf Hitler, dan berkampanye melarang Quran di Belanda. Pikiran antiimigrasi dan anti-Islam Wilders itu juga merupakan pikiran Donald Trump dan Marine Le Pen (Prancis). Karena itu, merebaklah pandangan bahwa kemenangan Trump menjadi presiden AS pada 8 November 2016 merupakan kemenangan populisme yang bakal menular ke pemilu Belanda (9 Maret 2017), Prancis (23 April 2017), dan Jerman (24 September 2017).
Efek domino itu terbukti baru sebatas harapan pengikut kanan-jauh. Populisme keok di Belanda. Populisme yang diusung Party for Freedom, partai Geert Wilders, hanya meraih 13,1% suara atau 20 kursi, sedangkan People’s Party for Freedom and Democracy, partai PM Mark Rutte, meraih 21,3% suara atau 33 kursi.
Kemenangan kanan-tengah itu tidak dengan sendirinya membuat Mark Rutte berkuasa, apalagi dengan mudah kembali menjadi perdana menteri. Untuk membentuk pemerintahan, diperlukan kekuatan mayoÂritas, yaitu sedikitnya 76 dari 150 kursi di parlemen. Padahal, dari 150 kursi parlemen, tidak ada satu pun dari 28 partai yang mendapat suara signifikan besar, bahkan tidak ada yang lebih dari 22%.
Belanda tidak memberlakukan ambang batas parlemen. Hal itu menyebabkan banyak sekali partai. Yang terjadi fragmentasi, tidak ada partai yang sendirian dapat membentuk pemerintahan hasil pemilu. Satu abad pemerintahan Belanda dibentuk dan disusun berdasarkan koalisi yang alot, bahkan berlangsung berbulan-bulan. Namun, partai berideologi populisme dengan garis keras antiimigrasi, anti-Islam, kiranya tidak akan diikutsertakan ke dalam pemerintahan koalisi yang mana pun.
Geert Wilders, 53, sang pemimpin populisme, membahasakan diriÂnya sebagai anti-Islam, tetapi tidak antimuslim. Bila dia yang menang, dia akan membawa Belanda menjadi Nethxist, Netherlands keluar dari Uni Eropa. Nyatanya populisme keok sehingga untuk sementara waktu, patahlah optimisme pengagum Trump, yang mencanangkan America First, yang diperkirakan diikuti Netherlands First, lalu French First, dan ditutup dengan pamungkas, Germany First. Puncaknya Uni Eropa bubar.
Kekalahan Geert Wilders kiranya badai bagi Marine Le Pen, bahwa ia pun bakal keok dalam pemilu Prancis. Bila itu terjadi, berpengaruh besar bagi Angela Merkel untuk terpilih kembali menjadi kanselir Jerman. Merkel pembela kaum imigran dan teguh berpendirian mempertahankan eksistensi Uni Eropa.
Kenapa populisme keok di Belanda? Orang Belanda memeluk konservatisme yang kuat. Protestan kawin dengan sesama protestan, yang Katolik kawin dengan sesama Katolik. Akan tetapi, inilah negeri yang kaya multikulturalisme. Contohnya Geert Wilders sendiri, sang pemimpin populisme, ialah seorang Belanda dengan ibu keturunan Indonesia.
Penjelasan lain, bangsa dan negara Belanda berpikir sangat liberal yang diekspresikan antara lain dengan kemudahan bernarkoba dan kebebasan memilih untuk mati (eutanasia).
Amsterdam surganya turisme narkoba. Orang yang menderita penyakit tak tersembuhkan secara legal dapat minta izin untuk ‘diselesaikan’ nyawanya secara medis.
Kepercayaan kepada demokrasi dan hak konstitusional warga diperlihatkan dengan betapa mudahnya warga dapat menggunakan hak suara. Warga bisa menggunakan hak pilihnya di stasiun kereta api, supermarket, sekolah, gereja, di gedung-gedung komunitas, termasuk di arena stadion sepak bola. Warga mencontreng di atas kertas, menggunakan pensil merah. Terdapat 8.891 TPS di seluruh Belanda. Umumnya dibuka mulai pukul 07.30 hingga pukul 9 malam. Akan tetapi, ada juga TPS yang buka mulai tengah malam, seperti di dekat kios bunga di Stasiun Kereta Api Castricum (25 kilometer dari Amsterdam).
Pemilu Belanda kali ini dengan partisipasi tertinggi 81% dari sekitar 13 juta warga yang berhak memilih. Tertinggi selama 30 tahun. Partisipasi naik dari 74,6% (Pemilu 2012) bisa jadi dipicu kesadaran orang Belanda tidak mau termakan oleh populisme sesat seperti orang AS, yang kini banyak menyesal memilih Trump. Kesalahan Geert Wilders, kata pakar, disebabkan ia mengimpor bayang-bayang kemenangan Trump.
Keoknya populisme itu tidak boleh meniadakan fakta bahwa sekalipun kalah, partai kanan-jauh meraih tambahan 5 kursi atau 33%. Sebaliknya, partai kanan-tengah, sekalipun menang, kehilangan 8 kursi (19,5%). Populisme kali ini keok di Belanda, tapi tidak modar, bahkan senyatanya terus menggeliat.
Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.