Tabiat Reaksioner

266

JIKA otoriter kebablasan, apa jadinya? Diktator. Masih juga kebablasan, apa jadinya? Totaliter. Jawaban yang dapat diperdebatkan, kecuali esensi yang sama, yaitu kian punahnya hak-hak asasi warga. Apa jadinya bila demokrasi (kita) kebablasan? Jawab Presiden Jokowi: liberalisme, radikalisme, fundamentalisme, sektarianisne, terorisme, serta ajaran lain yang bertentangan dengan ideologi Pancasila.

Jawaban itu merujuk kepada praktik demokrasi politik empat-lima bulan terakhir yang, kata Presiden, telah membuka peluang bagi artikulasi politik yang ekstrem. Yang terjadi ialah politisasi SARA, fitnah, kebencian, saling menghujat, yang menghabiskan energi, yang bila tidak dihentikan, bisa memecah belah bangsa. Sebaliknya, bila mampu mengatasinya, bangsa ini kian dewasa, matang, tahan uji.

Penilaian perihal demokrasi kebablasan itu menjadi topik yang sangat hangat, sampai-sampai ada elite oposisi yang menilai Jokowi telah berubah dari presiden menjadi pengamat. Padahal, di luar ranah eksekutif, presiden tidak bisa lain, kecuali paling jauh cuma jadi pengamat. Lebih daripada itu, presiden menjadi kebablasan. Topik demokrasi kebablasan itu masuk ke ruang publik yang lebih luas, mengalahkan topik mengatasi kesenjangan, topik membangun negara dari pinggiran/perbatasan, yang juga disampaikan Presiden Jokowi dalam pidato yang sama di acara pelantikan pengurus baru Partai Hanura.

Dalam kesempatan itu Presiden bahkan menayangkan sebuah slide berisi perubahan besar yang terjadi di Entikong, perbatasan Indonesia-Malaysia. Namun, semua itu tenggelam oleh seksinya demokrasi kebablasan. Sebagai jurnalis yang menikmati kebebasan pers, salah satu sendi demokrasi, saya menerima penilaian demokrasi kebablasan, dengan pengecualian.

Di manakah persisnya demokrasi kita kebablasan? Hemat saya, demokrasi kebablasan itu tidak meliputi seluruh Indonesia, tidak terjadi merata di mana-mana, dan tidak pula melanda semua sendi kehidupan berdemokrasi. Dalam konteks pusat-pinggiran, demokrasi kebablasan dengan artikulasi politik SARA itu sesungguhnya hanya menyangkut pilkada di pusat. Jakarta itu pusat, tetapi bukan satu-satunya Indonesia.

Indonesia di tengah, juga di pinggiran dan di perbatasan, kiranya tidak mengalami demokrasi kebablasan. Yang demokrasinya kebablasan itu ialah di pusat, oleh elite kekuasaan di DPR yang menjadikan parlemen bertabiat reaksioner. Kebablasan itu diperlihatkan antara lain terpikir untuk membuat pansus demi urusan membela orang yang disangka makar, dan yang sekarang digelindingkan hak angket untuk menonaktifkan sementara Ahok dari jabatan Gubernur Jakarta, yang kembali disandangnya setelah cuti.

Ahok sedang diadili. Presiden telah meminta fatwa kepada Mahkamah Agung, dengan jawaban bahwa MA tidak campur tangan terhadap perkara yang sedang diadili. Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo pun menjawab gamblang di DPR, ia membela Presiden, dan bersedia dicopot dari jabatannya. Manakah yang lebih hebat, kedudukan Ketua DPR atau Gubernur Jakarta?

Saya hanya ingin mengutip secuil sejarah Akbar Tandjung (2002) yang menjadi terdakwa kasus penyelewengan dana nonbujeter Bulog, tetapi ia tidak mundur dan tidak pula nonaktif dari jabatannya selaku Ketua DPR. Ia tetap duduk dalam jabatan publik itu sekalipun pengadilan negeri dan pengadilan tinggi menghukumnya, sampai putusan kasasi berkekuatan hukum tetap, yang diputuskan MA, membebaskan Akbar Tandjung.

Ahok lolos pilkada Jakarta putaran kedua dengan suara terbanyak (42,96%). Bila itu terjadi di pilkada di provinsi di tengah, di pinggiran, atau di perbatasan, ia telah menjadi gubernur terpilih. Akan tetapi, dalam pilkada di pusat, berlaku ketentuan harus meraih lebih dari 50% sehingga Ahok melalui putaran kedua. Tuntutan politik terhadap Ahok pun berubah, dari tuntutan di jalanan agar diadili (yang sedang berlangsung), menjadi tuntutan elite bertabiat reaksioner di DPR agar ia dinonaktifkan dari jabatan gubernur yang sah masih disandangnya.

Di tengah hiruk pikuk perkara Ahok, partisipasi pilkada Jakarta putaran pertama mencapai 77,1%, menunjukkan tingginya kepercayaan warga Jakarta kepada demokrasi. Bapak Presiden yang terhormat, yang demokrasinya kebablasan itu kiranya cuma elite politik di DPR, yang sekarang menggunakan hasil pilihan rakyat itu dengan cara kebablasan memakai hak angket DPR, membuat parlemen bertabiat reaksioner.

Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.