Jalan Kejam

226

BERTAMBAH seorang lagi penyelenggara negara yang mendapat hukuman ‘berat’ berupa pencabutan hak politik. Sebuah hukuman yang dapat mematikan karier kepublikan, yang tak kalah seram jika dibandingkan dengan hukuman penjara seumur hidup. Penyelenggara negara itu ialah Irman Gusman, mantan Ketua Dewan Perwakilan Daerah, yang tertangkap tangan KPK gara-gara uang Rp100 juta.

Ia tidak hanya divonis 4,5 tahun penjara, tapi juga sebagian hak politiknya dicabut selama tiga tahun setelah menjalani pidana pokok. Sebagian hak politik yang dicabut itu hak mencalonkan diri dalam jabatan publik. Menurut hakim Pengadilan Tipikor Jakarta, pencabutan hak politik itu bertujuan melindungi publik dari kemungkinan terpilihnya seseorang di jabatan publik, padahal terbukti berperilaku koruptif.

Pencabutan hak politik dalam perkara yang ditangani KPK yang paling dramatis dan dinilai ‘kejam’ diberikan Mahkamah Agung kepada mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum. Pengadilan Tipikor Jakarta dan Pengadilan Tinggi Jakarta tidak mengabulkan permohonan jaksa dari KPK agar Anas Urbaningrum dijatuhi hukuman tambahan berupa pencabutan hak dipilih dalam menduduki jabatan publik.

Alasannya, memperoleh jabatan tersebut bergantung kepada publik sehingga harus dikembalikan kepada penilaian publik. Kurang lebih, kiranya bukan urusan hakim kalau seorang koruptor, setelah menjalani hukuman pidana, kembali menduduki jabatan publik karena dipilih rakyat. Sebaliknya, Mahkamah Agung dengan majelis hakim yang berisikan Artidjo Alkostar, Krisna Harahap, dan MS Lumme menilai keliru pertimbangan itu.

Publik justru harus dilindungi dari fakta, informasi, dan persepsi yang salah. Kemungkinan publik salah pilih harus dicegah dengan mencabut hak politik seseorang yang nyata-nyata telah mengkhianati amanat yang pernah diberikan publik. Hukuman Anas Urbaningrum tidak saja diperberat dua kali lipat, dari tujuh tahun menjadi 14 tahun penjara, tapi juga tambahan hukuman berupa pencabutan hak politik.

Sejak yurisprudensi itu, memberi hukuman tambahan pencabutan hak politik kepada pejabat publik yang korupsi sepertinya menjadi keniscayaan. Akan tetapi, hemat saya, kiranya tetap dapat ‘dirasakan’, apakah hakim menjatuhkan putusan tersebut dengan akibat ‘membunuh karier politik’ atau semata berdampak ‘sementara’, yaitu hanya kehilangan hak politik dalam satu pemilu saja.

Hukuman terhadap Anas Urbaningrum dapat berakibat ‘menghabisi’ karier jabatan kepublikannya. Sebaliknya, hukuman terhadap Irman Gusman bukan kiamat baginya. Mari kita berhitung. Pemilu 2019, kurang lebih dua tahun lagi. Sudah pasti saat itu Irman Gusman tidak bisa mencalonkan diri untuk kembali menjadi anggota DPD. Bagaimana dengan Pemilu 2024? Jawabnya, ia berkemungkinan dapat kembali menjadi senator.

Irman kini berumur 55 tahun (lahir 11 Februari 1962). Bila hukuman tidak berkurang, entah karena kasasi atau remisi, pidana pokoknya berakhir pada 2021. Tiga tahun kemudian (2024), hak politiknya pulih kembali. Tahun itu tahun pemilu dan saat itu, Irman berumur 62 tahun. Usia yang masih oke untuk kembali bertarung melalui calon perseorangan merebut kembali kursi DPD.

Di sisi publik, terbukalah ruang untuk mengikuti suara hatinya, memilih atau tidak memilih Irman, seandainya ia kembali menggunakan haknya ikut dalam Pemilu Legislatif 2024. Lain cerita bila hakim mencabut hak politik itu empat tahun, bukan tiga tahun, sehingga Irman Gusman kehilangan kesempatan dua pemilu, Pileg 2019 dan 2024. Hak politiknya baru pulih untuk digunakan pada pemilu 2029.

Hakim tipikor mengambil jalan moderat. Bukan jalan ‘kejam’ hakim agung Artidjo Alkostar, Krisna Harahap, dan MS Lumme. Dari semua narasi di atas, kiranya lebih aman bagi Irman Gusman untuk tidak naik banding, yang dapat berlanjut ke jalan kejam.

Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.