Kekisruhan di Pertamina

272

TULISAN ini dimulai dengan kontradiksi, yaitu menyoroti kekisruhan, tapi dengan kinerja bersejarah. Kinerja itu ialah, di bawah kendali Direktur Utama Dwi Soetjipto, PT Pertamina (persero) membukukan sejarah meraih laba lebih besar daripada Petronas (Malaysia).
Prestasi yang membanggakan. Dari perspektif itu, sang dirut mestinya mendapat penghargaan, tapi ia malah dicopot dari jabatannya. ‘Sejarah’ berikut ditulis dalam tanda kutip karena keganjilannya.

Wakil Direktur Utama Pertamina Ahmad Bambang, 25 Januari 2017, mendapat penghargaan bidang pemasaran dan branding dari Menteri BUMN Rini Soemarno. Penghargaan itu diberikan di Istana, disaksikan Presiden Jokowi. Akan tetapi, hanya sembilan hari setelah itu, Ahmad Bambang dicopot dari jabatannya. Keganjilan pemberian penghargaan kepada Ahmad Bambang antara lain Menteri Rini ditengarai mengabaikan fakta Ahmad Bambang, dalam kedudukannya selaku Dirut Pertamina Trans-Kontinental, dalam pemeriksaan Kejaksaan Agung, terkait dengan dugaan korupsi penyediaan kapal Pertamina.

Orang yang sedang berurusan dengan Kejaksaan Agung diberi penghargaan oleh Menteri BUMN, disaksikan Presiden pula, jelaslah sebuah keganjilan yang amat sangat. Jokowi sendiri di acara itu mengingatkan agar seluruh jajaran direksi BUMN bekerja bersih. Kasus korupsi bisa saja menjerat tanpa mengenal waktu. Pernyataan itu terbukti benar. Keganjilan yang lain, Menteri Rini juga memberikan penghargaan kepada Direktur Keuangan Pertamina Arief Budiman karena dinilai berhasil membangun fondasi keuangan yang solid.

Pertanyaannya, di mana sang dirut Pertamina, Dwi Soetjipto, yang membuat sejarah perusahaan meraih laba melampaui Petronas itu ditempatkan Menteri Rini? Pertanyaan itu sejujurnya tendensius bahwa Menteri Rini ‘bekerja’ agar Dwi Soetjipto sebagai direktur utama Pertamina, bukan ‘apa & siapa’ dalam kontestasi besar kinerja BUMN. Sebagai gambaran, sejumlah dirut antara lain dirut PLN, dirut BRI, dirut BTN, dirut Waskita Karya, mendapat penghargaan dari Menteri BUMN.

Dwi Soetjipto diangkat menjadi dirut Pertamina pada 28 November 2014, hanya 38 hari setelah Jokowi menjadi Presiden RI, dengan tugas memberantas mafia migas. Belum enam bulan memimpin Pertamina, ia membubarkan Petral, anak perusahaan yang disebut-sebut sebagai sarang mafia. Puncak kinerjanya, di tengah harga minyak mentah yang rendah, September 2016, Pertamina meraih laba bersih US$2,83 miliar, naik 209% dari periode yang sama 2015. Lalu terjadilah kekisruhan. Pangkalnya, 20 Oktober 2016, Ahmad Bambang diangkat menjadi wakil direktur utama Pertamina dengan kekuasaan ‘melampaui’ direktur utama.

Power itu juga terbaca dari posisi Menteri Rini. Di satu pihak ia punya preferensi kepada Ahmad Bambang, tapi di lain pihak dia mengecilkan posisi dan makna kinerja Dwi Soetjipto. Dualisme kepemimpinan pecah ke permukaan, dirut dan wakil dirut dicopot. Yang menambah seru keganjilan di Pertamina ialah keterangan Komisaris Utama Tanri Abeng yang mengatakan tidak ada masalah dengan struktur.

Faktanya, belum empat bulan, struktur baru wakil direktur utama dibubarkan. Apa-apaan itu? Dewan Komisaris bermain-main menjadikan Pertamina seperti perusahaan ingusan. Kekisruhan di Pertamina harus pula dilihat dari pemberantasan mafia migas. Itu perlu diinvestigasi secara mendalam. Presiden Jokowi seyogianya memeriksa ulang direksi yang tersisa, siapakah yang anti dan promafia?

Jangan lupa, memberantas mafia migas jelas dan tegas janji Jokowi pada pilpres. Bila Presiden Jokowi menggunakan hak prerogatifnya mempertahankan Rini sebagai menteri BUMN, kekisruhan di Pertamina mestinya menjadi pelajaran penting bagi sang menteri untuk melepaskan kecenderungan preferensi kepada orang-orang tertentu yang sekarang memimpin BUMN.

Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.