Doa SBY

298

PRESIDEN RI 10 tahun (begitu SBY suka membahasakan dirinya) berdoa perihal hoax di Twitter.

Isinya, “Ya Allah, Tuhan YME. Negara kok jadi begini. Juru fitnah & penyebar “hoax” berkuasa & merajalela. Kapan rakyat & yg lemah menang?”

Doa di Twitter itu mendapat tanggapan, “pak kalo berdoa di twitter pastikan dulu Tuhannya follow bapak,” yang ditutup dengan salam dua jari.

Tanggapan itu berlogika, bagaimana doa itu sampai bila Tuhannya tidak follow SBY di Twitter?

Seorang teman mengirim semua itu ke WA saya, diberi komentar pendek, “Lucu.”
Teman yang lain yang sedang belajar berhenti merokok, mengirim pesan yang sama, dengan komentar, “Ya Allah Tuhan Yang Maha Esaaa… Begini amat rasanya hidup tanpa rokok.”

Ada teman yang menanggapinya dengan mengirim pesan serius dari seorang tokoh, pemikir, penyair, pemimpin redaksi, Goenawan Mohamad.

Isinya, “Dgn hormat, fitnah dan hoax itu sudah menggila di Pilpres 2014, terutama thd @jokowi. Lewat “Obor Rakyat”. Bisa cek ke Andi Arif. Tksh.”

Andi yang dimaksud kiranya Andi Arief, staf khusus Presiden SBY.

Sehari kemudian, untuk memperjelas konteks dan konten, teman yang sama mengirim kicauan Andi Arief.

Bunyinya, “Setelah Ibu Sylvi harusnya Ibu Iriana Jokowi juga diperiksa, bukankah juga sebagai penerima Dana bansos 2013 sebagai ketus Dharma wanita?” Kutipan itu sesuai aslinya, termasuk salah ketik, ‘ketus’ untuk ‘ketua’.

Publik tahu, merupakan fakta hukum bahwa Sylviana Murni, calon Wakil Gubernur DKI Jakarta yang berpasangan dengan calon gubernur Agus Harimurti Yudhoyono, diperiksa Bareskrim Polri.

Itu bukan hoax, bukan fitnah.

Sebaliknya, tentang Ibu Iriana Jokowi, bukan fakta hukum, melainkan pernyataan hipotetis, bahkan pertanyaan retoris.

Hoax tentu saja urusan horisontal, kepada sesama manusia, antara lain urusan polisi kepada manusia pencipta kebohongan.

Adapun doa urusan vertikal, berkomunikasi ke atas, kepada Sang Pencipta Langit dan Bumi.

Ketika urusan kebohongan itu diadukan oleh seorang mantan presiden 10 tahun kepada Sang Maha Pencipta melalui Twitter, berhamburanlah reaksi berupa olok-olok.

Sesungguhnya doa perbuatan khusyuk orang beriman.

Kekhusyukan itu bahkan hendak dicapai antara lain dengan mematikan handphone, sendiri di bilik tertutup.

Tak seorang pun tahu apa yang disampaikan dalam doa, kecuali Sang Penerima, Tuhan Yang Maha Esa.

Dalam perspektif itu, mengolok-olok doa maupun orang yang berdoa dengan khusyuk, kiranya perbuatan yang tidak dikehendaki Tuhan.

Berdoa melalui Twitter, hemat saya, lebih ditujukan kepada publik, yaitu manusia penghuni di dunia maya (netizen), ketimbang kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Apakah doa macam itu diterima Tuhan?

Ampun Tuhan, hamba terlalu lancang.

Siapa saya gerangan, tahu tanggapan Tuhan atas perkara tersebut?

Tapi saya yakin mereka yang mengolok-olok doa SBY itu, tahu benar kenapa mereka melakukannya.

Olok-olok melalui media sosial itu rasanya merupakan sentilan sosial terhadap SBY.
Hal itu diperkuat dengan munculnya anjuran agar SBY meniru mantan Presiden Habibie, yang dibahasakan sebagai ‘pandito’, yang tidak pernah berkomentar buruk terhadap pemerintahan presiden sesudahnya.

Pemimpin itu tempat mencontoh yang baik, bajik, dan bijak.

Bukan sasaran olok-olok.

Kiranya SBY tahu betul batas antara dipuji dan diolok-olok.

Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.