Ada Apa dengan SBY

358

BEGITU membaca berita SBY mendatangi Menko Polhukam Wiranto (Selasa, 1/10), spontan terlontar komentar dari mulut saya, “Turun gunung nih ye….” Tapi buat apa SBY turun gunung? Aneh benar bagi kecerdasan publik, Wiranto-SBY berbicara perihal bulu tangkis. Wiranto memang baru terpilih menjadi Ketua Umum PBSI. Namun, di zaman masih menjadi presiden sekalipun, SBY tidak heboh-heboh amat memperhatikan terpilihnya Ketua Umum PBSI yang baru.

Hubungan Wiranto-SBY pun bukan hubungan yang dekat-dekat amat, bahkan pernah bersaing dalam pilpres. Karena itu, pertemuan Wiranto-SBY itu patut diendus karena urusan besar. Malamnya, SBY malah membuat berita lebih menarik lagi. Ia mengunjungi JK di kediaman resmi wakil presiden. Terjadilah pertemuan empat mata, yang tidak diketahui publik entah apa isinya. Pertemuan yang aneh.

Setelah SBY tidak lagi menggandeng JK sebagai wapres, hemat saya, praktis hubungan mereka hubungan yang biasa-biasa saja. Bukan hubungan yang hangat, bukan pula dingin. Bahwa tiba-tiba seperti mesra kembali, patut pula diendus karena urusan besar. Terlebih, karena dalam sehari itu (Selasa, 1 November 2016), SBY melakukan dua kunjungan yang ‘abnormal’. Normalnya ialah SBY menjadikan kediamannya di Cikeas sebagai pusat kekuasaan tersendiri, ‘sebuah puncak gunung’, tempat ia menerima para tokoh.

Itulah sebabnya, saya spontan membahasakan kunjungannya ke Wiranto dan JK, sebagai turun gunung. Tapi apa gerangan penyebabnya? Perkara besar apakah yang membuat ia turun gunung? Kemarin, semuanya dijawab sendiri oleh SBY di Cikeas, kembali ke SBY yang seasli-aslinya. Dua urusan besar yang disampaikannya di situ ialah perihal demonstrasi yang ramai diperbincangkan bakal digelar besok (4/11), serta ihwal intelijen. Soal demonstrasi, antara lain, ia bicara bahwa unjuk rasa bukan kejahatan politik.

Unjuk rasa bagian dari demokrasi, asalkan tidak anarkistis. Pendapat standar, normatif. Yang menyita perhatian dan membuat orang terheran-heran, ketika SBY bicara mengenai intelijen, berkali-kali, antara lain, katanya, intelijen harus akurat, jangan berkembang menjadi intelijen yang ngawur dan main tuduh. Katanya lagi, intelijen dulu juga tidak mudah melaporkan kepadanya sesuatu yang tidak akurat.

“Dulu saya tidak pernah dengan mudah menuduh ada orang besar mendanai aksi-aksi unjuk rasa, ada orang besar menggerakkan unjuk rasa.” Suka atau tidak suka, pernyataannya itu justru mengarahkan publik bertanya-tanya, ada apa dengan SBY? Siapa orang besar yang dituduh mendanai demontrasi itu? Tidakkah SBY sendiri orang besar itu? Ia lalu bicara tentang rekomendasi Tim Pencari Fakta Kasus Munir, yang katanya bola sekarang di tangan Presiden Jokowi.

Panjang lebar ia menyebut fitnah kekayaannya Rp9 triliun. Juga tentang rumah pemberian negara, yang luas tanahnya kurang 1.500 m2, tapi disebutsebut 3.000 m2 persegi bahkan 5.000 m2. Semua pernyataan dari Cikeas itu disertai nada yang tinggi, yang sedikit banyak diekspresikan dalam suasana kebatinan yang keruh. Terjadi sejumlah selip kata, yang disebutnya sendiri karena kurang minum. Padahal, SBY merupakan tokoh yang tutur katanya teratur dan pikirannya runtut. Ia pun beberapa kali mencopot dan membersihkan kacamatanya.

Semua itu menimbulkan pertanyaan, ada apa dengan SBY? Maaf, jawabnya SBY masih jauh dari madeg pandito ratu, ‘menyepi’ hanya untuk memberi nasihat kepada yang membutuhkan. Sepuluh tahun menjadi presiden, terlama di alam demokrasi, tetapi ia masih diliputi dan dikeruhkan oleh hiruk pikuk kekuasaan. Sesungguhnya, sekali lagi maaf, ia malah kian menjauh dari figur negarawan.

Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.