Tidak Ada Kampanye ialah Kampanyeku

287

KAMPANYE jelas kegiatan politik yang mahal. Barang siapa menghabiskan porsi besar keuangan dan waktunya untuk berkampanye, tak berlebihan berkesimpulan, orang itu sebetulnya belum ‘bunyi’ benar di tingkat warga. Belum bunyi sehingga perlu dibunyikan senyaring-nyaringnya, sekencang-kencangnya, seluas-luasnya.

Orang itu harus dibuat dan membuat dirinya sedemikian rupa mencorong dalam perang udara. Subjektif, buat saya, semakin gencar calon kepala daerah berkampanye menjajakan dirinya, yang baik-baik, yang manis-manis, yang mengesankan populis, semakin menimbulkan keraguan, apakah ia layak dipilih. Entahlah, hemat saya, orang itu ditengarai belum melakukan pekerjaan internalnya yang paling dasar, yaitu meyakinkan diri sendiri, bahwa ia mampu menjadi kepala daerah.

Ia masih perlu poles sana, poles sini. Nyanyi sini, nyanyi sana. Tentu, koar sini, koar sana. Ketidakpercayaan diri itu, buat sebagian, akibat sedikitnya, bahkan karena sama sekali tak punya jam terbang dalam fungsi-fungsi kepublikan yang berhubungan langsung dengan warga. Rekam jejaknya miskin. Karena itu, siapa dirinya, dalam konteks untuk menjadi gubernur/bupati/wali kota, harus dikampanyekan habis-habisan.

Ketidakpercayaan diri itu juga terekspresikan dalam menghadapi persaingan dengan mengumandangkan negative campaign. Tiap orang punya kelemahan. Faktual, selalu dapat ditunjukkan dan disebarluaskan daftar kekurangan tiap calon kepala daerah. Akan tetapi, apa hebatnya seorang pemimpin yang lebih pandai menunjukkan kelemahan lawan ketimbang kelemahan dirinya?

Kampanye negatif tidak dianjurkan, tapi juga tidak diharamkan. Tidak dianjurkan karena terlalu kencang menyuarakan daftar negatif lawan dapat berbuah bumerang. Semut di seberang lautan tampak, gajah di depan mata tak kelihatan. Orang yang dipilih kiranya yang berani menunjukkan kelemahannya serta berkemampuan memperbaikinya. Jangan pilih orang yang mampu dengan manis menyembunyikan atau memoles kekurangannya dan ketika topengnya terbuka, menyalahkan orang lain.

Orang itu jelas bukan pemimpin yang dicari dan dibutuhkan. Yang haram ialah black campaign, kampanye hitam. Menjatuhkan lawan dengan cara memanipulasi fakta sehingga lawan menjadi hitam kelam. Perbuatan jahat memanipulasi fakta itu kini dipermudah kemajuan teknologi informasi. Misalnya, fitnah jahat dapat diproduksi sedemikian rupa sehingga yang tampak dan terdengar di video seakan fakta sebenarnya.

Padahal, bohong besar, fitnah kejam. Timbul pertanyaan idealistis, bisakah tiap kontestan berkelakuan elegan? Kemenanganku bukan dengan membinasakan lawan, menghancurkan lawan? Kemenanganku buat kehidupan warga yang lebih baik, tapi bukan dengan bernyanyi di atas ‘bangkai lawan’? Kampanye mahal ongkosnya. Untuk menebusnya, yang bersangkutan berkemungkinan besar korupsi setelah menjadi kepala daerah.

Semakin jorjoran biaya yang dihabiskan, semakin jorjoran korupsi. Jika ada calon kepala daerah yang berpendirian, tak ada kampanye ialah kampanyeku, kayaknya dialah yang patut dipilih. Tapi siapa dia? Orang itu barangkali belum lahir, atau lahir terlalu cepat sehingga tidak terpilih. Masih jauh panggang dari api, bahkan mission of impossible.

Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.