Daya Saing Indonesia
DI tengah ketidakpercayaan kepada globalisasi, sebagai dampak miring Brexit serta suara negatif capres AS Donald Trump mengenai perdagangan bebas, World Economic Forum kembali menerbitkan hasil survei mengenai persaingan global. Laporan itu disertai pengantar perihal berita buruk dan berita baik. Berita buruk untuk tahun ini (2016-2017) ialah laporan itu dilansir di tengah pertumbuhan ekonomi masih rendah akibat jatuhnya harga-harga komoditas, meningkatnya ketidakseimbangan eksternal, serta tertekannya keuangan pemerintah.
Berita baiknya ialah saat ini dunia paling sejahtera dan damai yang tercatat dalam sejarah. Hal itu dilihat dari penyakit, kemiskinan, serta konflik kekerasan yang lebih sedikit bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Tentu saja kita boleh setuju atau tidak setuju dengan pendapat Richard Samans, Kepala Pusat Agenda Global World Economic forum, dalam pengantar Laporan Persaingan Global 2016-2017 setebal 400 halaman itu. Dalam dunia yang amat gonjang-ganjing sekalipun, kita mau tahu potret diri kita.
Apa pun hasilnya, seburuk apa pun. Saban kali badan dunia yang berwibawa melansir hasil riset mereka, saban kali itu pula kita i ngin becermin. Lebih cepat buruk muka diketahui, lebih baik bagi pengambil kebijakan publik. Dari 138 negara yang disurvei, posisi daya saing Indonesia berada pada peringkat 41, turun empat peringkat dari survei sebelumnya. Indonesia mengalami kontras. Dari segi besarnya pasar, Indonesia merupakan negeri kinclong, berada di peringkat 10.
Pilar makroekonomi pun relatif ba gus, berada di posisi 30. Inovasi pun relatif bagus, peringkat 31. Perkembangan pasar fi nansial juga naik tujuh peringkat, menjadi peringkat 42. Akan tetapi, pilar pendidikan dasar dan kesehatan sangat buruk, yaitu peringkat 100, anjlok 20 peringkat. Jika dilihat dari kampanye Jokowi sewaktu pilpres, itu berarti pemerintah belum berhasil mewujudkan janji Indonesia Pintar dan Indonesia Sehat. Rakyat mestinya masih terbayang
se cara visual di televisi, dalam debat capres, bagaimana Jokowi dengan mantap mengeluarkan dua kartu penting Indonesia Pintar dan Indonesia Sehat, dua program menyangkut rakyat yang tidak dimiliki capres Prabowo.
Pilar kesehatan buruk akibat penyakit tuberkulosis, HIV/AIDS, serta harapan hidup (68,9 ta hun). Sebagai perbandingan, harapan hidup anak bangsa ini lebih baik daripada Ethiopia (64 tahun), tapi lebih buruk bahkan bila dibandingkan dengan Bangladesh (71,6 tahun). Tak elok, belum waktunya (untuk tidak mengatakan malu), membandingkannya dengan negara maju Jerman, yang harapan hidup rakyat mereka mencapai 80,8 tahun. Tentu saja masih terlalu dini memvonis janji
Indonesia Sehat dan Indonesia Pintar itu karena pemerintahan Jokowi, Oktober ini, baru berjalan dua tahun. Belum separuh masa berkuasa.
Akan tetapi, peringkat 100 dari 138 negara dalam hal kesehatan dan pendidikan dasar kiranya terlalu buruk untuk cuma dimengerti. Yang lebih buruk menyangkut efisiensi pasar tenaga kerja, peringkat 108. Buruk akibat berbagai kekakuan serta rendahnya rasio perempuan dalam angkatan kerja. Survei juga mencari tahu lima faktor yang paling problematik dalam berbisnis di suatu negara. Hasilnya, untuk Indonesia, korupsi paling teratas, lalu di bawahnya berturut-turut ketidakefi sienan birokrasi pemerintah, infrastruktur yang tidak memadai, akses ke finansial, serta infl asi.
Jelaslah korupsi masih masalah besar. Tanpa World Economic Forum melakukan survei, publik tahu korupsi masih mengganas. Dalam hal ini pun terjadi kontras. KPK sangat berwibawa, tapi dalam pencegahan, kinerja mereka buruk. Orang takut tertangkap KPK, tapi orang tidak takut korupsi. Dari segi kelembagaan KPK paling dipercaya, tetapi dari segi raison d’etre, alasan kelahiran mereka, KPK sebetulnya masih ‘di situ-situ saja’.
Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.