Percikan Pemikiran Sehat

288

BOLEHKAH orang yang dijatuhi hukuman percobaan menjadi calon kepala daerah? Pertanyaan itu muncul karena KPU menjawabnya tidak boleh, sedangkan partai politik (Golkar, misalnya), menjawabnya boleh. Boleh dari segi hukum, demikian argumentasinya, asal orang itu telah menjalani hukuman percobaan. Lalu dari segi moral, apakah orang itu patut dicalonkan menjadi kepala daerah? Tergantung duduk perkara.

Pengguna narkoba yang dihukum percobaan, hemat saya, tidak dibolehkan menjadi calon kepala daerah. Sekalipun pemakai narkoba bukan penjahat, melainkan pasien, jelaslah kepala daerah harus orang sehat. Apa pun argumentasinya, seperti telah sembuh dan bertobat, pemakai narkoba sebaiknya tidak diperkenankan menjadi calon. Kenapa? Karena kemungkinan ketagihan kembali lebih besar. Bagaimana dengan korupsi? Berapa pun hukumannya, termasuk percobaan, orang itu tak layak dicalonkan.

Sekalipun orang itu telah menjalani hukumannya, serta pengadilan tidak mencabut hak politiknya, dari segi integritas, orang itu sudah ‘selesai’. Itu prinsip garis keras KPK dan juga KPU, seiring sejalan dengan ICW. Sebaliknya, DPR dan pemerintah sepertinya lebih mengutamakan aspek yuridis. Sepertinya luas diterima pandangan, maksimal 5 tahun penjara telah dijalani, orang itu berhak dicalonkan.

Batas hukuman 5 tahun saja dibolehkan, apalagi cuma hukuman percobaan. Dalam pandangan itu, aspek integritas, moral, etika, tidak diatur dalam hukum positif, tetapi dipulangkan kepada partai masing-masing apakah patut atau tidak patut, layak atau tidak layak, pantas atau tidak pantas, mencalonkan koruptor dalam pilkada. Sesungguhnya di situ tidak memercik pikiran sehat.

Di tengah tekad bangsa memberantas korupsi, aneh partai tidak mempersoalkan aspek integritas calon kepala daerah yang diusungnya. Dasar pikirannya, bila hukuman telah penuh dijalani, orang itu berhak diberi tiket mencalonkan diri
dalam pilkada. Apakah setelah menjalani hukuman terjadi efek jera, itu urusan subjektif person yang bersangkutan. Bukan urusan institusi, partai yang mengusung dan mendukungnya.

Sikap menyederhanakan persoalan itu ternyata tidak dipedulikan umumnya rakyat. Karena itu, bukan aneh jika koruptor bisa terpilih menjadi kepala daerah. Dalam berbagai survei, ditemukan hasil bahwa politik uang diterima sebagai hal wajar. Suka atau tidak suka, integritas bukan faktor, apalagi faktor signifi kan yang memengaruhi rakyat menentukan pilihannya.

Kenyataan perilaku memilih berdasarkan politik uang itu ditunggangi saja oleh pragmatisme yang penting menang. Pelonggaran hukuman percobaan itu bagian dari pragmatisme itu. Bila untuk mendapatkan partai pengusung dibayar pula dengan mahar, sempurnalah pilkada langsung menjadi mesin demokrasi yang melanggengkan korupsi. Pilkada sempurna mengerdilkan pikiran sehat.

Namun, ada sejarah yang perlu dikemukakan. Hukuman percobaan mengingatkan saya pada hukuman yang dijatuhkan hakim kepada seorang muda, idealis, pemimpin redaksi yang korannya, Sendi, diberedel karena bersalah menghina kepala negara. Kala itu (1971), gencar-gencarnya demonstrasi menentang pembangunan Taman Mini Indonesia Indah yang dinilai merupakan penyalahgunaan kekuasaan.

Koran yang diasuh orang-orang muda itu, orang-orang yang bebas berpikir, melalui percikan pemikirannya menentang proyek yang dimotori Ibu Tien Soeharto itu. Korannya diberedel, pemimpin redaksinya, Ashadi Siregar, 26, menggunakan haatzaai artikelen (pasal-pasal kebencian) dihukum tiga (3) bulan dengan enam (6) bulan masa percobaan. Moral cerita itu, dalam percikan pikiran sehat, kiranya tidak elok menggeneralisasikan hukuman percobaan. Seorang idealis, penentang korupsi pun, pernah dikenai hukuman itu.

Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.