2M

243

GOLKAR menunjukkan kegesitan mereka belajar dari kesalahan.

Bukan kesalahan kecil, melainkan kesalahan besar, yaitu tidak turut mengusung Jokowi dalam Pilpres 2014.

Bahkan, seperti khawatir ketinggalan sepur, jauh hari sebelum Pilpres 2019 dilaksanakan, Golkar di bawah kepemimpinan Setya Novanto telah memproklamasikan bakal mengusung Jokowi untuk menjadi presiden masa jabatan kedua (2019-2024).

Setya Novanto menginstruksikan pengurus DPD tingkat 1 dan DPD tingkat 2 untuk memasang foto-foto kegiatan Jokowi.

“Kalau sudah dipasang di daerah-daerah, ini tentu akan memberi warna yang lain,” kata Novanto.

Tak hanya memasang foto kegiatan Jokowi.

Novanto pun menyeru pengurus Golkar untuk juga memasang spanduk, baliho, dan billboard sebagai upaya meningkatkan elektabilitas Jokowi.

Lebih jauh lagi, Setya Novanto mewacanakan siapa bakal menjadi cawapres mendampingi Jokowi. Mereka ialah dua perempuan, yaitu Sri Mulyani dan Khofifah Indar Parawansa, dan seorang pria, yaitu Sri Sultan Hamengku Buwono X.

Begitulah, Golkar menjadi partai yang agresif. Bukan hanya terhadap Jokowi, melainkan juga terhadap Ahok, sebagai calon Gubernur Jakarta dalam Pilkada 2017.

Kiranya tidak berlebihan untuk mengatakan, di tengah ketidakjelasan sikap PDI Perjuangan, Golkar sepertinya hendak memberi kesan kepada publik sebagai pengusung Ahok yang paling ‘militan’ dibanding NasDem dan Hanura.

Apakah salah Golkar bertingkah seperti itu? Tentu saja tidak. Partai itu tidak salah tingkah.

Bahkan, kalaupun salah tingkah, bukan persoalan di mata siapa pun yang rasional.

Dari segi suasana kebatinan Golkar sendiri, memang aneh Golkar berada di luar kekuasaan. Apalagi menjadi oposisi.

Batinnya bilang, “Sakitnya di sini.” Mana tahan?

Lagi pula, tiap partai memerlukan sedikitnya ‘2M’, yaitu manuver dan momentum.

Golkar menggunakan keduanya.

Momentum berubah haluan meninggalkan Koalisi Merah Putih, sekalian dimanfaatkan bermanuver ke Pemilu 2019, mendukung Jokowi.

Saat itu, untuk pertama kali pilpres dan pileg diselenggarakan serentak.

Karena itu, semua partai tanpa kecuali sesungguhnya tidak punya lagi kemewahan waktu untuk berlama-lama menimang-nimang, mengelus-elus capres.

Energi partai difokuskan untuk menyeleksi calon legislatif di semua tingkatan.

Pilihan terbijak tentu saja mengusung petahana, terlebih bagi Golkar yang pada 2014 keliru.

Bahkan, salah besar, tidak mengusung dan mendukung Jokowi.

Gerakan Golkar mengusung Ahok juga kiranya layak dipandang sebagai pemanfaatan 2M, manuver dan momentum.

Pilkada Jakarta 2017 momentum yang terlalu strategis untuk disia-siakan partai mana pun.

Elektabilitas Ahok yang tinggi dan kepemimpinannya yang fenomenal jelas terlalu berharga untuk disia-siakan partai berpahamkan kebangsaan.

Tak terasa, Pilkada Jakarta 2017 sudah dekat.

Karena itu, apa pun ceritanya, tetap menarik menanti 2M-nya PDIP.

Manuver apa yang akan dimainkannya dan dalam momentum apa itu dilakukan?

Tentu saja, ihwal 2M bakal kian seksi menyangkut 2019.

Dalam urusan besar pilpres, kiranya tidak ada 2M yang terlalu dini.

Bahkan, menyangkut 3M, yaitu manuver, momentum, dan money.

Bisakah pilpres tanpa uang?

Jawabannya, M yang keempat, ‘mimpi’ kali….

Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.