Kapolri

254

MENGANGKAT Kapolri merupakan diskresi presiden. Namun, inilah diskresi yang tidak sepenuhnya dalam genggaman karena DPR turut menentukan. Jabatan Kapolri mestinya jabatan apolitik. Bukan jabatan political appointee. Jabatan itu puncak karier yang diisi oleh satu-satunya jenderal bintang empat di Polri dengan kecakapan multidimensional. Hanya ada satu-satunya jenderal bintang empat bukan semata untuk menghindari matahari kembar, tapi juga agar tidak terjadi jenderal bintang empat pengangguran. Jenderal bintang empat pengangguran bukan hanya penghinaan bagi yang bersangkutan, melainkan juga penghinaan bagi yang memberi pangkat.

Di tubuh Angkatan Darat pernah terjadi jenderal bintang empat masih aktif, menduduki puncak karier di matranya sebagai KSAD, tapi kemudian dicopot, menjadi pengangguran. Padahal, ia ‘masih lama’ pensiun. Jenderal itu ialah Jenderal Tyasno Sudarto, diangkat KSAD pada 20 November 1999, diganti 9 Oktober 2000, dalam usia 52 tahun. Memperpanjang usia pensiun Kapolri di ma sa negara dalam keadaan damai dan tertib sosial, kiranya bukan pilihan bijak. Bila masih ada jabatan karier tidak tergantikan di puncak jabatan publik, sedikit atau banyak hal itu menunjukkan buruknya manajemen negara.

Sulitkah mencari Kapolri? Tidak. Yang sulit tahapan sebelumnya, yaitu menyeleksi dan mem promosikan dari lebih banyak jenderal bintang dua menjadi jenderal bintang tiga yang jumlahnya lebih sedikit dengan pertimbangan proyektif dan prospektif, pada waktunya, yang bersangkutan berkecakapan multidimensional menjadi satu-satunya jenderal bintang empat.

Bukankah semua jenderal bintang tiga eligible menjadi Kapolri? Yang bikin sulit presiden, hak prerogatif tidak sepenuhnya di tangannya, dalam genggamannya. Presiden terjerat Pasal 11 ayat (1) dan (2) UU 2/2002 yang merupakan produk restorasi kebablasan, yaitu Kapolri diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakian Rakyat (ayat 1). Usul pengangkatan dan pemberhentian Kapolri itu disertai dengan alasannya (ayat 2). Pasal 11 ayat (1) dan (2) itu perlu dicabut sehingga hak prerogatif presiden dikembalikan, dipulihkan.

Pasal itu sebaiknya dipakai untuk mengatur kedudukan dan tugas Kompolnas saja, yang antara lain memang bertugas memberi pertimbangan kepada presiden dalam pengangkatan dan pemberhentian Kapolri. Dengan demikian, Kompolnas berdiri berbasiskan UU, bukan seperti sekarang berdasarkan peraturan presiden yang kedudukannya lebih rendah. Perubahan UU 2/2002 itu harus melalui kewenangan legislatif karena telah gagal melalui kewenangan yudikatif.

Mahkamah Konstitusi menolak permohonan judicial review, antara lain, dengan alasan permintaan persetujuan oleh presiden kepada DPR dalam hal pengangkatan Kapolri bukanlah suatu penyimpangan dari sistem pemerintahan presidensial, justru menggambarkan telah berjalannya mekanisme checks and balances sebagaimana tersirat dalam UUD 1945. Keputusan MK bersifat fi nal dan mengikat. Akan tetapi, perlu dipersoalkan perihal ‘tersirat’ dalam alasan hakim konstitusi tersebut, yang bermuatan subjektivitas.

Bukankah konstitusi peraturan tertinggi yang tersurat? Seberapa kuat dan hebat argumentasi pengawal konstitusi menggunakan interpretasi nontekstual hal ikhwal tersirat? Yang jelas, tidak ada ketentuan tersurat dalam konstitusi bahwa presiden harus meminta persetujuan DPR. Di masa Orde Baru, Presiden Soeharto memang suka-suka mengangkat Kapolri. Namun, za man berubah. Presiden dipilih rakyat, pers be bas melakukan kontrol. Kiranya cukuplah Kompolnas memberi masukan, tanpa perlu per setujuan DPR, yang justru ‘mengganduli’ presiden dengan ‘beban politis’.

 

Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.