Jokowi 2019

355

KETUA Umum Golkar yang baru Setya Novanto mengubah haluan partainya meninggalkan Koalisi Merah Putih dengan bergabung ke Koalisi Indonesia Hebat, pengusung dan pendukung Jokowi. Lebih dari itu, dini hari sekali ia telah memproklamasikan Jokowi bakal menjadi calon presiden pada Pemilu 2019. ‘Papa minta saham’ kiranya telah berubah sepenuhnya menjadi ‘papa tahu diri’.

Golkar memang tidak punya jam terbang sebagai oposisi. Partai itu hidup dari dan dalam kekuasaan. Bila dihitung sejak Pemilu 1971, inilah pertama kali dalam 45 tahun, Golkar tidak duduk di kabinet. Siapa tahan, berada di luar pemerintahan di masa Jokowi sampai 2019? Setahun tujuh bulan sejak Kabinet Kerja diumumkan (Oktober 2014), kiranya lebih dari cukup bagi Golkar untuk mengalami semacam ‘kecelakaan sejarah’ berada di luar pemerintahan.

Apakah sebutan itu terlalu keras? Rasanya tidak. Menjadi oposisi bukan rancangan rasional bagi partai yang puluhan tahun kenyang berkuasa. Apakah ada penilaian yang tepat selain kecelakaan sejarah untuk disematkan pada partai kedua terbesar hasil Pemilu 2014 yang gigit jari gara-gara tidak ikut ‘Salam 2 Jari Jokowi’.

Gigit jari berkepanjangan tidak sehat bagi partai yang lama berkuasa dan masih doyan berkuasa. Karena itu, haluan partai harus diubah, kembali ke jati diri, kembali ke habitat. Di titik itulah ‘Papa tahu diri’ menjadi pilihan. Sebaiknya perubahan haluan politik Golkar itu disambut resmi dengan memberi kursi kabinet kepada Golkar. Demi kuatnya dukungan politik di DPR, siapa pun di dalam koalisi tidak usah menutup mata atau berpura-pura tidak tahu bahwa bergandengan tangan dengan Golkar yang terbiasa dalam kekuasaan, jauh panggang dari api gratisan.

Wapres Jusuf Kalla dan Menko Polhukam Luhut Pandjaitan orang Golkar. Yang satu mantan ketua umum, yang lain wakil ketua dewan pembina. Tapi bukan karena partainya itu, keduanya bersama Jokowi. Karena itu, tidak lucu bila ada yang berpandangan Golkar telah otomatis resmi terwakili di kabinet. Semua itu tentu saja berdampak pada ‘jatah’ kursi menteri partai pengusung orisinal.

Di situ ego harus dilepaskan demi pemerintahan yang kuat. Untuk itu diperlukan kematangan memberi dan berbagi, bukan ngototngototan mempertahankan ‘jatah’. Lagi pula, bukankah mengangkat dan memberhentikan menteri hak prerogatif presiden? Setya Novanto tidak ingin terulang kembali partainya ketinggalan sepur dalam mengusung calon presiden. Ia menyuarakan bakal mengusung Jokowi pada 2019. Pada saat itu, pemilu legislatif dan pilpres berlangsung serentak.

Sebuah langkah bagus sehingga partai berkonsentrasi menentukan caleg. Bagus pula bagi publik, jauh hari telah tahu bahwa incumbent bakal dicalonkan kembali. Ketika mencuat isu Ani Yudhoyono, istri SBY, bakal digadanggadang menjadi capres, melalui Podium ini, saya mengatakan lebih cepat publik tahu siapa capres 2019 lebih baik sehingga dalam pemilu serentak itu rakyat telah punya capres di kantongnya. Tinggal menimbang-nimbang caleg yang bakal dicoblosnya. Bagi Jokowi yang baru saja dinobatkan Tokoh Inspiratif Asia 2016, kiranya juga terlecut hati menjadi presiden RI selama 10 tahun, dengan cita-cita menghasilkan ukuran baru, yaitu hasil kerja yang menantang untuk dilampaui siapa pun yang terinspirasi ingin menjadi presiden selanjutnya.

Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.