Kebiri

332

HUKUMAN dikebiri diharapkan efektif menakuti calon pemerkosayang gagah sekalipun. Membayangkan dirinya dikebiri saja kiranya telah membuat gemetar, terlebih bila benarbenar mengalaminya. Hukuman dikebiri ditengarai bukan saja membuat orang kehilangan nafsu seks, melainkan juga kehilangan ‘keperkasaan’. Siapa mau kehilangan ‘keperkasaan’? Katanya, kehilangan ‘keperkasaan’ itu bakal membuat orang merasa kehilangan kedirian sebagai lelaki. Semua itu menyebabkan orang-orang kurang ajar tidak bernafsu memerkosa. Itulah kurang lebih alasan pendukung hukuman kebiri.

Ada dua pilihan cara mengebiri, yaitu kebiri fisik atau kebiri kimiawi. Kebiri fisik kiranya lebih menakutkan daripada kebiri kimiawi. Terlebih, bila ‘umur’ kebiri kimiawi itu hanya untuk 3 bulan, 6 bulan, bahkan 60 bulan (5 tahun), tidak bakal membuat pemerkosa gentar. Bukankah setelah hukuman kebiri 5 tahun dijalani, pemerkosa kembali bersyahwat dan berkemungkinan memerkosa lagi? Karena itu, dari sudut dampaknya, kebiri fisik kayaknya lebih menghunjam tajam untuk menimbulkan efek jera.

Akan tetapi, sebaiknya negara jangan terburu-buru mengambil keputusan perppu perihal kebiri. Kebiri fisik bukan saja dilakukan raja terhadap kalangan dalam istana karena khawatir permaisuri berselingkuh, melainkan juga, maaf, dilakukan peternak babi. Katanya, anak-anak babi berkelamin jantan, umur 2 bulan, segera dikebiri. Akibatnya, mereka tidak lagi melompat-lompat karena syahwat. Kurang gerak itu bikin mereka gemuk. Bertambahnya berat timbangan, memberi nilai tambah ekonomi lebih besar kepada peternak.

Tidak perlu banyak pejantan, cukup satu dua ekor saja. Selebihnya betina, yang diharapkan beranak pinak. Terlahir anak jantan? Lagi-lagi dikebiri. Caranya? Buah zakarnya dibuang. Saya bukan dokter yang paham kebiri fisik ataupun kebiri kimiawi. Saya pun bukan peternak babi. Saya hanya peternak kata-kata melalui forum ini, yang terusik pertanyaan, di manakah peran otak? Apakah setelah dikebiri, otak kriminal untuk memerkosa hilang? Apakah pemerkosaan hanya dilakukan melalui genital, alat kelamin? Bukankah pemerkosaan dapat dilakukan menggunakan alat kelamin buatan, sepanjang otaknya memberi perintah? Sekali lagi, apakah setelah dikebiri, yang bersangkutan masih punya otak kriminal untuk memerkosa?

Babi kiranya tidak punya otak, encer ataupun tumpul, baik untuk kriminal, yaitu berpikir jahat seperti memerkosa, maupun berpikir canggih demi kemajuan peradaban alam semesta di era global. Begitu dikebiri, selesailah urusan syahwat kebinatangannya, tinggal tunggu ‘dikiloin’. Tapi manusia? Apakah syahwat kebinatangan untuk berbuat kriminal, untuk memerkosa, dengan sendirinya ikut hilang dari otak karena dikebiri?

Pertanyaan lain, apakah sistem hukum kita kekurangan hukuman terberat? Faktanya, hukuman terberat tidak dipakai hakim dengan alasan yang benar, tapi tidak benar. Apakah pelaku pemerkosaan di bawah umur masih tepat dipandang sebagai anak-anak. Padahal, kejahatan yang dilakukannya kejahatan orang dewasa? Belum lagi sinyalemen, tidak semua laporan pemerkosaan dilanjutkan, tuntas ditangani polisi. Apalagi, bila polisi ditengarai terlibat pemerkosaan, seperti diduga terjadi di Manado.

Kisah pengebirian babi dan semua pertanyaan itu, khususnya berkaitan dengan neuroscience, bertujuan agar Presiden Jokowi tidak terburuburu mengeluarkan perppu hukuman kebiri. Kita percaya, sebelum mengambil keputusan, Presiden tidak hanya mendengarkan para pembantunya, tapi juga pandangan berbagai disiplin dan otoritas, terutama ahli otak/saraf, apakah kebiri juga berpengaruh pada otak sehingga tidak mampu memberi perintah melakukan pemerkosaan?

 

Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.