Artikulator
DI tengah kebebasan berbicara dan kemudahan berkomunikasi melalui media sosial, kiranya tetaplah diperlukan artikulator.
Celakanya, makhluk satu ini malah kian langka.
Bahkan, layak diprihatinkan, jangan-jangan bangsa ini gagal menghasilkan artikulator baru, sesuai permintaan dan kebutuhan zaman.
Dalam pengertian klasik, meminjam pandangan seorang pakar tentang cendekiawan, artikulator berperan menyambung lidah bagi mereka yang tidak bisa menyuarakan aspirasi sendiri.
Mereka kesulitan menghadapi kekuasaan, yang cenderung tidak mendengarkan sehingga memerlukan artikulator.
Peran itu dimainkan cendekiawan, yaitu kaum yang mampu menangkap, mengartikulasikan, serta membawa aspirasi yang tidak bisa disuarakan itu ke ruang publik melalui akses media yang mereka miliki.
Kehadiran media sosial, sedikit banyak, mengubah makna strategis akses media yang dimiliki kaum cendekiawan.
Medium is the message praktis berada dalam genggaman warga yang memungkinkan kapan saja melalui media sosial dapat menerobos kesulitan menghadapi kekuasaan.
Bahkan, pesan dapat merebak dan menjalar luas dalam tempo sesingkat-singkatnya menjadi viral (kata sifat), yang kata bendanya ialah virus.
Dalam perubahan itu, suka atau tidak suka, peran sang artikulator sebagai penyambung lidah bagi mereka yang tidak bisa menyuarakan aspirasi sendiri sebetulnya tidak lagi istimewa, apalagi monopoli cendekiawan.
Peran itu terbuka dapat diambil siapa saja.
Yang dicintai publik ialah bila kekuasaan itu sendiri mentransformasikan dirinya menjadi artikulator yang efektif.
Tentu saja tidak gampang kekuasaan berubah menjadi artikulator yang dipercaya publik.
Syaratnya, berani mengatakan apa yang diyakininya benar, yang sebetulnya merupakan ‘teks kolektif’, tetapi terbenam/tersingkirkan/terdistorsi dalam sistem yang korup.
Syarat lain, terbuka kepada publik dan membuka akses bagi publik. Sudah tentu, dipastikan bukan koruptor.
Semua syarat itu, kembali meminjam pendapat pakar, ialah merujuk kepada seorang pemimpin yang menginterpretasikan publik untuk kekuasaan dan kekuasaan untuk publik.
Pemimpin yang hadir di ruang publik, menyuarakan teks kolektif dan menjadikannya aksi kepublikan yang hasilnya nyata dinikmati warga.
Itulah sejatinya seorang pemimpin berkualitas, artikulator sekaligus eksekutor.
Berapa banyak pemimpin jenis itu di Republik ini?
Sangat langka.
Setelah Jokowi menjadi presiden, di tingkat daerah tinggal Gubernur Jakarta Ahok, satu-satunya pemimpin jenis itu.
Wali Kota Bandung Ridwan Kamil dan Wali Kota Surabaya Risma, maaf, belum sampai ke level itu.
Oleh karena itu, kiranya tergolong melecehkan aspirasi publik, apabila petahana kepala daerah berkualitas artikulator dan eksekutor ‘teks kolektif’, diminta mendaftarkan diri ke partai politik untuk mengusungnya menjadi calon kepala daerah.
Pemimpin jenis itu patutnya dilamar partai politik, bukan melamar.
Namun, warga tidak buta, tidak tuli, tidak pula tidur.
Mereka berinisiatif.
Narasi baru kiranya tengah terbentuk, sejuta warga melamarnya.
Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.