Kawal

300

DISADARI atau tidak, kata dasar ‘kawal’ dengan imbuhannya (mengawal, dikawal) kian penting dalam wacana kepublikan.

Contoh mutakhir, kubu Agung Laksono mengatakan perlu tim transisi yang dibentuk mahkamah partai mengawal rekonsiliasi.

“Perlu buat mengawal bagaimana pesertanya, mekanismenya di munaslub,” kata Zainudin Amali, Sekjen DPP Golkar hasil Munas Jakarta.

Kenapa perlu dikawal?

Penyelenggara dan peserta munaslub yang punya hak suara patut ditengarai direkayasa berat sebelah, memihak salah satu kubu. Padahal, rekonsiliasi bersyarat pokok semua pihak berangkat dari ‘kilometer nol’.

Keputusan siapa diusung sebagai ketua umum, misalnya, bisa hasil bujukan uang, bisa pula hasil paksaan.

Tidak nol, sudah ‘diisi’.

Karena itu, sebelum munaslub, DPD I dan DPD II perlu bermusyawarah dulu, memutuskan siapa yang bakal diusung menjadi kandidat calon ketua umum.

Kandidat calon, belum calon ketua umum. Diusulkan ada tiga tahap.

Pertama, munaslub menjaring sejumlah kandidat calon ketua umum. Kedua, mengkristal jadi 3, paling banyak 5 calon ketua umum. Tahap ketiga, baru pemilihan ketua umum.

Semua itu perlu dikawal karena selalu ada, maaf, ‘pencuri kuda’. Substansinya di situ bersemayam ketidakpercayaan.

Karena ada gejala kuat sebagian anak bangsa hidup dalam distrusting atmosphere, untuk tidak mengatakan distrusting society.

Contoh lain, diucapkan akhir November lalu, tetapi relevan hingga kini, menyangkut revisi UU KPK.

Menko Polhukam Luhut Pandjaitan menyatakan pemerintah akan mengawal revisi itu di DPR agar hanya empat hal yang direvisi.

Pertama, KPK harus punya dewan/komisi pengawas seperti lembaga penegak hukum lain.

Kedua, SP3 diberlakukan di KPK.

Ketiga, perihal penyidik independen.

Keempat, soal penyadapan diatur mekanismenya di dalam KPK, bukan pengadilan.

Kenapa empat hal itu perlu dikawal?

Jawabnya, amat terbuka kemungkinan DPR bermain ‘bola liar’, melebar, meluas, seperti kelakuannya selama ini.

Apakah DPR sebagai lembaga, anggota DPR sebagai manusia berkuasa, happy dengan eksistensi KPK?

Jawabnya tidak.

Karena itu perlu dikawal agar terwujud tertib agenda, bahkan ‘tertib’ kepentingan sehingga tak terjadi pelemahan, apalagi pembonsaian KPK, yang menyulut perlawanan di media sosial dan demo besar-besaran.

Seperti halnya kasus Golkar, dalam revisi UU KPK pun bersemayam ketidakpercayaan.

Selalu ada ‘pencuri kuda’ di parlemen.

Bersepakat untuk tidak bersepakat, tapi keinginan pihak tertentu jalan terus.

Itulah, misalnya, yang terjadi dengan terbentuknya Panja Freeport.

Karena itu, layaklah timbul kehendak mengawal revisi UU KPK itu di DPR.

Akan tetapi, mampukah pemerintah mengawal? Bukankah DPR sekarang berpotensi ‘menyimpang’, memproduksi paling banyak kasus disidangkan di MKD, mulai dari ketuanya, Setya Novanto, dalam kasus papa minta saham, hingga anggotanya, Masinton Pasaribu, dalam kasus dugaan penganiayaan perempuan di malam hari?

Di zaman Orde Baru, urusan kepublikan dipastikan tidak perlu dikawal karena dengan sendirinya terkawal.

Mesin kekuasaan dengan panglima Dwifungsi ABRI yang mengawalnya.

Demokrasi telah kita nikmati, tetapi bersamaan dengan itu bersemi atmosfer ketidakpercayaan.

Di berbagai cabang kehidupan, diperlukan dewan etik, dewan/komisi pengawas.

Bahkan, sang pengawas pun, dibawa ke muka hukum oleh yang diawasi.

Sang penjaga martabat direndahkan martabatnya.

Pengawalan melekat atau pengawasan melekat, digantikan ketidakpercayaan melekat.

Malah, patut dipertanyakan, apakah orang per orang masih kuasa mengawal nuraninya sendiri.

 

Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.