Steakhouse dan Gratifikasi
RUMOR menerpa Perdana Menteri Malaysia Najib Tun Razak.
Melalui sebuah blog anonim, dilansir kabar PM Najib dan istrinya, Rosmah Mansor, makan malam di steakhouse terkemuka menghabiskan RM19.284,80 atau sekitar Rp60 juta.
Mereka menikmati 2 kg matsusaka wagyu, marinade, sayuran, kentang, dan buah. Di Jepang, daging sapi matsusaka merupakan satu dari tiga top brand.
Kabar yang dilansir Minggu (24/1) itu juga memuat sebuah daftar makanan yang dipersiapkan di Sri Perdana, kediaman resmi perdana menteri, pada 21 Januari.
Informasi itu ‘disantap’ 14 ribu pengunjung Facebook.
Para netizen mengkritik perilaku bersantap sang PM dan istri di tengah kenaikan biaya hidup yang harus ditanggung rakyat. Tentu saja kabar itu dibantah Me’nate Steak Hub yang menyesalkan kenapa restorannya ikut dipolitisasi.
Yang bukan rumor ialah mengenai uang US$681 juta, atau Rp9 triliun lebih, masuk ke rekening pribadi Najib.
Jaksa Agung Malaysia Mohamed Apandi Ali mengumumkan uang itu tidak berkaitan dengan Najib selaku PM. Uang itu bukan gratifikasi, bukan pula hasil korupsi.
Uang itu masuk ke rekening pribadi Najib sebelum Pemilihan Umum 2013. Itu pemberian pribadi keluarga Raja Saudi, yang tidak ada urusan dengan kapasitas Najib sebagai perdana menteri.
Apa kata Malaysian Anti-Corruption Commission (MACC), KPK-nya Malaysia? Ketua MACC Abu Kassim Mohamed menyatakan tidak mempersoalkan keputusan Jaksa Agung (The Straits Times, 27/1).
Kenapa? Karena menurut konstitusi, Jaksa Agung satu-satunya pemilik kekuasaan penuntutan. Jaksa Agung punya hak diskresi untuk tidak menuntut.
PM Najib diterjang isu korupsi sejak koran Wall Street Journal pada Juli tahun lalu membongkar perihal uang US$700 juta di rekening pribadinya. Uang itu ditengarai hasil korupsi di badan usaha milik negara, Malaysia Development Berhad.
Kasus itu hendak diusut Abdul Gani Patail, jaksa agung kala itu, yang kemudian terhenti karena PM Najib langsung mencopotnya (2015).
Patail menjadi jaksa agung 13 tahun. Dialah yang membawa ke pengadilan kasus sodomi Anwar Ibrahim (1998). Ia digantikan Mohamed Apandi Ali.
Kini terbukti, jaksa agung baru, atas nama konstitusi, dapat melindungi aliran dana yang masuk ke rekening perdana menteri. Di situlah letak perbedaannya dengan Indonesia.
Di negeri ini, KPK tidak ada dalam konstitusi, tetapi kekuasaannya lebih menakutkan ketimbang jaksa agung. KPK juga memiliki kekuasaan penuntutan, menyebabkan kejaksaan bukan lagi satu-satunya pemilik kekuasaan penuntutan.
Semua itu gara-gara dahsyatnya korupsi di negeri ini, tergolong terparah di dunia, sehingga perlu superbodi untuk memberantasnya. Penegak hukum yang ada dinilai tak berdaya.
Penilaian itu segera berubah, apabila Kejaksaan Agung terbukti bertindak keras dan tegas terhadap Setya Novanto dalam kasus ‘papa minta saham’.
Kasus uang pemberian keluarga Raja Saudi ke rekening pribadi Najib membuat saya meragukan posisi Malaysia dalam indeks persepsi korupsi, yang selalu lebih bagus daripada Indonesia.
Yang terbaru, Malaysia menempati peringkat ke-54, sedangkan Indonesia di peringkat ke-88 dari 167 negara. Kiranya tidak berlebihan mengatakan indeks persepsi korupsi Malaysia itu lebih indah daripada aslinya.
Jikalau kasus uang pemberian keluarga Raja Saudi itu terjadi di negeri ini, Rp9 triliun masuk ke rekening pribadi siapa pun yang menjadi presiden, sekalipun sebelum pilpres, bisa dipastikan istana didemo besar-besaran dan habis-habisan.
KPK menunjukkan taringnya yang tertajam di bumi. DPR riuh rendah bersidang. Presiden pun bakal dilengserkan. Semua itu jikalau.
Untung Najib memimpin Malaysia, jika di sini, ‘selesai’ dia.
Terus terang, dalam pemberantasan korupsi, Indonesia ternyata masih lebih baik.
Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.