Semalam di Bagansiapiapi

239

BERADA semalam saja di Bagansiapiapi, di lingkungan
penghasil sawit di Kabupaten Rokan Hilir, Riau, membuat keprihatinan
ekonomi terasa lebih dalam. Petani sawit mengeluh berat. Harga sawit anjlok sangat parah, dari Rp1.800 per kg tahun lalu, tinggal Rp400 per kg Selasa (25/8) lalu. Itu berarti anjlok lebih empat kali lipat, terburuk dalam sejarah.

Menurut catatan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit
Indonesia (Gapki), tahun lalu harga crude palm oil global di
US$800-US$900 per ton. Di dua pekan pertama Agustus, harga melorot sampai US$600 per ton. Padahal, menurut perspektif semalam di Bagansiapiapi,
harga pupuk tetap mahal dan harga minyak goreng asal sawit tidak turun,
sekalipun harga sawit remuk.

Pada akhirnya petani jualah pemikul beban terberat dalam struktur ekonomi sawit. Konglomerat tetaplah penikmat rente. Sebagai gambaran, 40%-45% lahan sawit merupakan perkebunan milik rakyat.

Semalam di Bagansiapiapi, saya pun dihadapkan pada dua pertanyaan ‘serem’.

Pertama, apa yang dapat dilakukan negara?

Dalam nada lebih tajam, bisa apa negara?

Kedua, kenapa kalau harga cabai naik ‘masuk TV’, harga sawit turun ‘tidak masuk TV’?

Sebagai pelaku bidang media dan penggemar santapan pedas, pertanyaan itu menggigit saya. Saya tersenyum terima kasih. Kendati hanya semalam, news room perlu banyak belajar dari ibu kota Rokan Hilir itu.

Sebuah studi menunjukkan kontribusi ekspor CPO terhadap ekspor nonmigas 16%. Saat harga CPO dunia meningkat, nilai tukar riil rupiah juga akan terapresiasi. Ditambah meningkatnya perolehan devisa.

Yang terjadi sekarang ialah memburuknya ringgit
Malaysia serta merosotnya permintaan pasar, antara lain dari Tiongkok
yang turun 5% dari Juni 429,18 ribu ton menjadi Juli 407,33 ribu ton.

Kita nyaris tidak bisa berbuat apa pun terhadap naik
turunnya permintaan Tiongkok akibat perlambatan pertumbuhan ekonomi dan
melemahnya nilai tukar. Namun, sampai kapan sawit kita didikte ringgit? Pada
Senin (24/8), harga CPO di Malaysia merosot ke level 1.924 ringgit per
ton.

Dalam sepekan harga CPO anjlok 5,87%, terburuk sejak 2013. Dalam perekonomian global tak terhindarkan pengaruh eksternal. Akan tetapi, mengapa negara pasrah pada bursa Malaysia?

Salah satu tugas pokok pemerintah bersama Gapki dan
DPR ialah bekerja keras memindahkan transaksi bursa berjangka dari
Malaysia ke Indonesia. Selain itu, sebagai bangsa, kita pun harus berhenti terlena penghasil komoditas minyak sawit mentah tanpa nilai tambah.

Upaya besar-besaran harus dilakukan untuk
menghasilkan produk turunan CPO sehingga kita menjadi pengekspor turunan
CPO bernilai tambah lebih tinggi. Pemerintah hendaknya segera bertindak untuk juga memperkuat pasar dalam negeri.

Gapki, misalnya, meminta Pertamina mulai melaksanakan
Mandatori B15 (mengurangi ketergantungan pada BBM dengan mewajibkan
bahan bakar nabati 15% berbasis CPO) dengan menyerap biodiesel dalam
jumlah besar, yang mestinya efektif 1 April 2015. Akan tetapi, Pertamina belum melakukannya karena skema subsidi melalui CPO Supporting Fund belum jalan.

Karena menyangkut skema subsidi, diperlukan keputusan
politik ‘tingkat tinggi’ dan payung hukum permanen agar Pertamina tak
‘terjerumus’ lubang finansial dan ‘terperangkap’ lubang hukum.

Semalam di Bagansiapiapi, saya juga diingatkan, bila
harga sawit tetap buruk hingga 9 Desember, di hari pencoblosan pilkada
serentak, politik uang bakal jadi favorit di kawasan perkebunan sawit.

Petani sawit bakal menyantap uang kecil, apalagi uang besar.

Siapa yang dipilih? Mudah-mudahan akal sehat dan hati bekerja.

Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.