Setia Sampai Bui

315

BEREDAR olok-olok, berkat KPK, Gubernur Sumatra Utara Gatot Pujo Nugroho dan istrinya, Evy Susanti, layak dinobatkan sebagai pasangan ideal. Mereka saling setia tak hanya di kala senang, masuk bui pun berduaan.

Gatot-Evy bukan yang pertama, bukan pula yang terakhir berduaan masuk penjara. Pada pertengahan Juli 2014, Bupati Karawang Ade Swara dan istrinya, Nurlatifah, lebih dulu digiring KPK masuk bui. Suami istri itu menjadi tersangka pemerasan terhadap pengusaha dan melakukan pencucian uang.

Pada 14 Agustus, KPK menetapkan Bupati Musi Banyuasin, Sumatra Selatan, Pahri Azhari dan istrinya, Lucianty, menjadi tersangka kasus dugaan suap kepada anggota DPRD Musi Banyuasin agar Laporan Pertanggungjawaban APBD 2014-2015 disetujui. Lucianty pun berdwifungsi, istri bupati juga anggota DPRD provinsi. Setelah ditetapkan sebagai tersangka, soal waktu saja pasangan itu masuk sel. Apakah tiga pasang kepala daerah dan istri masuk bui lebih dari cukup?

Tidak ada jaminan tak ada lagi kepala daerah dan istri masuk penjara gara-gara korupsi. Setidaknya karena dua alasan pokok. Pertama, berkembangnya dinasti politik di daerah yang membutuhkan lebih banyak sumber daya finansial untuk mempertahankannya, terlebih untuk Nurlatifah yang berkedudukan dwifungsi, selain istri bupati juga anggota DPRD Kabupaten Karawang. Suami istri membesarkan dan melestarikannya. Semakin kuat dinasti politik, cenderung semakin korup. Dominasi dinasti memudahkan remuknya batas hubungan pribadi dengan kedinasan, urusan keluarga dengan pemerintah, uang negara dengan uang dinasti. Bertambah celaka karena MK ikut menyuburkan dinasti politik dengan membolehkan sanak-saudara terdekat petahana ikut pilkada serentak.

Kedua, tidak masuk akal istri kepala daerah tidak tahumenahu pertambahan harta pribadi mereka apakah karena korupsi atau warisan. Mereka tahu benar, tapi tidak peduli ada harta tak wajar, tak patut, tak layak dimiliki keluarga. Sejauh ini belum terdengar ada istri kepala daerah berinisiatif menyerahkan gratifi kasi kepada KPK untuk ke kas negara. Jangan-jangan, harta kekayaan itu diterima dengan ‘syukur’ dan ‘nikmat’, mumpung menjadi kepala daerah. Bukankah menjadi kepala daerah perlu mahar bermiliar-miliar rupiah? Itulah sebabnya kepala daerah yang jadi tersangka korupsi bukannya berkurang, malah berkembang bersama istri.

Belum lagi faktor efek kedudukan. Kedudukan kepala daerah berdampak pada status sosial, seperti bepergian duduk di penerbangan kelas bisnis, anak di sekolah internasional atau di luar negeri, pelesir ke mancanegara, berobat di Singapura, bahkan terus terbawa setelah tidak lagi menjabat. Berstatus kepala daerah hingga menjadi mantan, termasuk istri dan anak-anaknya, merupakan status ekonomi kelas tinggi dan kelas sosial mahal yang memerlukan gratifikasi/suap/korupsi untuk mendukung dan membiayainya. Lagi pula, menjadi kepala daerah, tapi miskin setelah mantan dinilai aneh, bodoh, bahkan kehilangan martabat. Begitu persepsi warga dan kepala daerah, sama-sama sakit.

Keluarga benteng pertahanan terakhir melawan korupsi kiranya tinggal nasihat dan petuah bagus dikhotbahkan. Tidak berlebihan mengatakan, setelah 70 tahun merdeka, prestasi terburuk pemerintahan ialah kepala daerah dan istri ‘seia sekata’ hingga masuk penjara karena korupsi. Bayangkan jadi apa bangsa ini jika ‘pasangan ideal’ berkat KPK itu menimpa 10% saja kepala daerah hasil pilkada serentak.

Olok-olok suami istri menjadi pasangan ideal berkat KPK, setia di kala senang dan di kala susah hingga dalam bui, kiranya terlalu berat dan pahit untuk diwariskan ke anak cucu, meski mungkin disertai warisan harta tujuh turunan hasil korupsi. Siapa pun yang terpilih jadi kepala daerah hendaklah bertekad tidak masuk penjara, apalagi berdua-duaan suami istri, sekalipun diizinkan sekamar di balik jeruji besi. Jika ada ‘bakat’ pasangan hidup ke arah sana, maaf, sekalipun masih cinta membara, semasa menjabat, lebih baik pulangkan saja dulu ke rumah orangtuanya. Entar, jemput kembali.

Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.