Hak Warga

285

MENYAMBUT 17 Agustus, ada dua aksi penting menyangkut hak warga berhadapan dengan pengendara sepeda motor di ruang publik. Pertama, warga yang tergabung dalam Koalisi Pejalan
Kaki menghalau pengendara sepeda motor di trotoar. “Hormatilah hak
pejalan kaki.” Itu terjadi di trotoar Jalan Kebon Sirih, Jakarta Pusat,
Jumat (14/8).

Kedua, protes terhadap konvoi motor gede alias moge
di Yogyakarta, yang tiada mengindahkan tanda lalu lintas dengan
pengawalan polisi.

Elanto Wijoyono menghadang konvoi moge yang melanggar
lampu merah dengan memasang badan dan sepeda di zebra cross dan
menyuruh pengendara di lampu hijau berjalan. Pesannya lugas, patuhilah rambu lalu lintas, lebih dari itu, hormatilah hak pengendara lainnya.

“Saya membayar pajak.” Pesan mendalam!

Seperti tampak pada foto di media, aksi hormatilah hak pejalan kaki diiringi senyum. Pengendara sepeda motor dihalau santun. Sebuah pembelajaran dari warga untuk warga. Bila Satpol PP yang turun tangan, bisa-bisa warga tersakiti.

Pesepeda motor itu rakyat biasa. Motor mereka, untuk membedakannya dengan moge, sebut saja moke (motor kecil), kebanyakan diperoleh dengan kredit.

Pihak Koalisi Pejalan Kaki tengah melakukan civic education terhadap warga untuk menghormati hak sesama warga. Pengendara moke mematuhinya, tanpa banyak cincong keluar dari trotoar.

Seperti disiarkan Metro TV, Senin (17/8), jelas protes keras terhadap konvoi moge. Bahkan dipersoalkan apakah nasionalisme harus
ditunjukkan dengan cara melanggar aturan lalu lintas, tidak memedulikan
hak warga lainnya sesama pengguna jalan raya, bahkan sesama pembayar
pajak.

Apa jawaban pihak moge?

Mereka harus tiba di tujuan pada waktu yang telah ditentukan.

Yang dilakukan bagus untuk pariwisata karena konvoi
menuju Prambanan, tempat upacara dilaksanakan. Demi keamanan, konvoi
dikawal.

Saya tidak tahu apakah di antara moge itu ada kreditan. Yang pasti moge simbol kelas tertentu dengan aksesori brand khas.

Ia tanda warga berpunya. Bahkan, konvoi moge sah
dibaca sebagai show kepemilikan pribadi di ruang publik, dengan seluruh
tafsirnya, antara lain arogansi.

Apa artinya dihadang dengan sepeda, kendaraan terjangkau rakyat kebanyakan?

Ada nuansa perlawanan kelas, juga terhadap negara (polisi) yang semestinya pengawal semua warga.

Kiranya perlu dicamkan telah terbit militansi pembela hak-hak warga di ruang publik.

Mestinya polisi mengawal kepatuhan berlalu lintas
termasuk moge, menghormati hak warga lainnya, menjunjung tinggi keadaban
publik. Bukan melindungi pelanggaran. Protes bernuansakan perbedaan kelas dan terhadap otoritas negara jangan diremehkan.

Aksi Elanto meraih dukungan ribuan penanda tangan petisi.

Masih ada fenomena lain. Go-Jek gagasan inovatif,
profesional menyelesaikan dua persoalan sekaligus, yaitu kebutuhan
transportasi warga dan menciptakan lapangan kerja.

Sebanyak 15 ribu warga telah menjadi pengemudi Go-Jek terlatih.

Trotoar jelas milik pejalan kaki. Moke harus menghormatinya.

Moke hendaknya juga belajar dari sesama moke, yaitu keadaban di jalan raya yang dipelopori Go-Jek.

Jalan raya jelas pula bukan wilayah kerajaan moge, konvoi atau sendiri. Polisi?

Diskresi hendaklah dipakai berhati-hati dengan menimbang perubahan sentimen dan aspirasi warga.

Bukankah polisi digaji negara menggunakan perolehan pajak yang dibayar warga?

Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.