Nota Kosong

270

SERAYA menikmati pindang daging kerbau khas Kudus di sebuah kedai di kota aslinya, Kudus, Jawa Tengah, Selasa (11/8), mata saya tertawan pada sebuah pengumuman. Isinya, ‘Maaf, tidak Melayani Nota Kosong’. Pengumuman itu sepertinya sengaja dipasang tersendiri di kedai makan Bapak H Sulihan, terpisah dari ramainya kalender yang memenuhi dinding.

Itu kedai laris, ditandai dengan banyaknya pihak yang ingin kalender produk dan perusahaan mereka dipajang. Seusai bersantap, saya bertanya kepada petugas kedai, “Apakah banyak yang meminta nota kosong?” Dijawab, “Banyak.” “Siapa yang minta?” Dijawab lagi, “Instansi-instansi.”
“Instansi-instansi?” saya ingin ketegasan.

“Ya, instansi-instansi,” jawab dia. Instansi yang dimaksud pegawai negeri. Mereka meminta nota kosong untuk diisi sendiri dan menjadikannya bukti pembayaran sah untuk negara. Begitu banyak yang meminta nota kosong sampai-sampai perlu dibuat pengumuman bahwa kedai pindsot (pindang soto) itu tidak melayani permintaan nota kosong.

Nota kosong memang salah satu modus operandi korupsi. Tidak hanya nota kosong kedai makan, di masa lalu banyak pula yang meminta blangko kosong tiket pesawat terbang. Orangnya tidak terbang berdinas ke luar kota, tentu tidak pula makan di kota tujuan, tapi keterangan di tiketnya terisi telah dipakai ‘terbang’ dan nota restoran pun ‘kenyang’ diisi sendiri.

Modus operandi blangko tiket pesawat kemudian dipatahkan oleh kewajiban menyertakan boarding pass sebagai bukti. Ketentuan itu efektif melibas kebiasaan menilap uang negara melalui tiket bodong. Di zaman e-ticket seperti sekarang ini, tentu menggelikan sekaligus memalukan bila masih ada yang meminta tiket kosong.

Menggelikan karena zadul (zaman dulu), memalukan karena tampak betul bermental ‘nyolongan’. Berbeda dengan blangko kosong tiket pesawat, permintaan nota kosong rumah makan rupanya masih terus berlanjut di mana-mana. Saya percaya, kedai pindsot Bapak H Sulihan di pusat kuliner Kudus bukanlah satu-satunya depo makan yang menolak memberi nota kosong.

Yang membesarkan hati, petugas kedai itu berani blakblakan menjawab pertanyaan, padahal ketika itu di antara pengunjung kedai terdapat orang ‘instansi’. Kaum wiraswasta seperti Bapak H Sulihan dengan inisiatif sendiri mengambil peranan strategis di bidang pencegahan korupsi, yang merupakan salah satu tugas pokok Komisi Pemberantasan Korupsi.

Mereka melawan korupsi dari sisi penggunaan anggaran negara berbasiskan at cost yang memerlukan kuitansi. Aliran dananya memang kecil, tapi korupsi tetaplah korupsi. Meminta nota kosong di kedai jelas secuil bukti betapa korupsi sepertinya meluas dan merata di seluruh negeri. Untunglah masih ada manusia Indonesia berkarakter seperti H Sulihan, yang tanpa digaji oleh negara, tanpa melalui seleksi Panitia Seleksi Pimpinan KPK dan uji kelayakan dan kepatutan di DPR, berperan mencegah korupsi.

Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.