Singapura Kedua
AKHIR pekan ini (9/8) negara tetangga terdekat Singapura berumur 50. Menjelang umur itu, 23 Maret lalu, mereka kehilangan bapak pendiri bangsa, Lee Kuan Yew, dalam usia 91. Hari Minggu ini menjadi National Day pertama
dirayakan sepenuhnya generasi penerus, dalam posisi 10 negara terkaya di
dunia dengan GDP per kapita US$56.286,8.
Telah terpikirkan oleh mereka bagaimana menciptakan ‘Singapura kedua di luar Singapura’. Pikiran itu dilansir Dr Teh Kok Peng, Chairman Ascendas, di halaman opini koran The Straits Times (10/10/2014). Di rubrik itu juga dibahas pentingnya cetak ulang buku The Battle for Merger yang diluncurkan sehari sebelumnya.
Mengapa buku berisi 12 pidato radio Lee pada 1961
perlu dicetak ulang? Jawab koran itu, “Pada 2015, kita merayakan ulang
tahun ke-50 Singapura. Ini tonggak sejarah signifikan, khususnya ketika
kita mengingat kesulitan dan kegentingan yang dihadapi di masa awal.”
Masalah besar kala itu komunis radikal. Kini yang dihadapi dua perkara besar, mentoknya lahan dan pertambahan penduduk akibat migrasi.
Dengan menimbun laut menggunakan pasir impor
(terutama pasir dari Tanah Air), Singapura memperluas lahan 24% menjadi
72 ribu hektare. Lahan itu diproyeksikan masih tumbuh 8% atau 5.600 hektare pada 2030. Setelah itu, mentok. Padahal, penghuninya terus bertambah.
Singapura kini berpenduduk sekitar 5,5 juta, dua kali lipat dibanding 30 tahun lalu. Penduduk diperkirakan mencapai 6,5 juta pada 2030. Pada jumlah tujuh juta, negara kota itu penuh sesak. Penyebabnya bukan penduduk sendiri, tetapi pendatang.
Perempuan Singapura enggan beranak. Tingkat kelahiran 1,25 jauh di bawah yang diperlukan untuk melahirkan generasi pengganti.
Pada 2030 pendatang yang tinggal lama bakal mencapai
600 ribu, di luar pekerja asing non-resident dari sekarang 1,6 juta
menjadi 2,3 juta. Mereka ialah buruh murah pekerja bangunan hingga bule expats bergaji tinggi (The Economist, 18/7).
Ekonom Paul Krugman 20 tahun lalu, seperti dikutip Dr
Teh Kok Peng, menyebut ekonomi Singapura lebih dihela faktor buruh dan
kapital, bukan produktivitas. Padahal, bila lahan tetap dan faktor buruh tumbuh
melambat, pertambahan modal bakal menghadapi hukum diminishing return,
pertambahan dengan hasil semakin berkurang. Karena itu, Singapura memerlukan Singapura kedua di luar Singapura.
Apa wujudnya?
Singapura memiliki tingkat tabungan tinggi, khususnya tabungan pemerintah berupa surplus anggaran negara. Selama ini tabungan itu diinvestasikan di pasar modal di luar negeri.
Dr Teh menyarankan selain terus meningkatkan
investasi portofolio, pemerintah Singapura hendaknya mendorong dan
membantu perusahaan Singapura ekspansi ke luar negeri.
Jerman dan AS mendapat hasil lebih besar dari perusahaannya di luar negeri ketimbang hasil investasi portofolio. Masih ada ‘bentuk’ lain, menjadikan Johor Bahru semacam Singapura kedua. Dari Johor yang hanya sepelemparan batu, tiap hari diperkirakan 50 ribu orang Malaysia ulang-alik bekerja di Singapura.
Bila warga Singapura dan pekerja asing melakukan hal
sama, bersedia tinggal di Johor dengan tempat tinggal lebih luas dan
sewa lebih murah, Singapura bernapas lebih lega.
Pertanyaannya, apakah hubungan mesra di bawah PM Najib Razak bakal diteruskan PM baru Malaysia? Tak ada yang menjamin.
Kepulauan Riau sebetulnya dapat memanfaatkan peluang. Akan tetapi, aksi mogok buruh menakutkan mereka. Agustus ini kita juga merayakan proklamasi, 20 tahun lebih tua daripada Singapura.
Kita diberi kekayaan lahan nan luas. Kita tidak perlu memikirkan ‘Indonesia kedua’. Persoalan kita, Indonesia jilid 1 tak rampung-rampung. Kita masih direpotkan pilkada calon tunggal di Kota Surabaya.
Sepertinya tidak ada desain besar, pada hari
kemerdekaan ke-100 kita mencapai Indonesia jilid 2, yaitu negara
demokratis berkesejahteraan. Misalnya, 90% rumah tangga punya tempat tinggal miliknya sendiri, seperti Singapura sekarang.
See more at: http://mediaindonesia.com/podium/read/142/singapura-kedua/2015-08-06#sthash.DD1t0Lyg.dpuf
Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.