Umur Semau Gue
MAHKAMAH Konstitusi (MK) menolak perubahan batas usia minimal perkawinan perempuan dari 16 menjadi 18 tahun. Terlepas apa pun alasannya, ketentuan umur di undang-undang tetap perlu ditilik ulang, bahkan secara holistis.
MK jelas menyia-nyiakan peluang menyelaraskan usia sebagai basis penentu hak konstitusional warga. Selama ini, negara, pembuat undang-undang, tidak berpandangan sama mengenai umur seperti tampak dalam sejumlah undang-undang. Padahal, usia menentukan berbagai hak warga.
Contohnya, Undang-Undang Pemilu menetapkan hak pilih
minimal berumur 17. Undang-Undang Perkawinan menetapkan usia perkawinan
perempuan minimal 16.
Selisih setahun itu sepertinya tidak berhubungan. Padahal, Undang-Undang Pemilu mengaitkannya, berhak memilih berumur 17 atau bila sudah/pernah kawin. Itu artinya, berkat perkawinan, warga mendapat
percepatan hak konstitusional memilih dalam pemilu, yaitu setahun lebih
awal daripada warga lajang atau ‘jomlo’.
Demikianlah status kawin memberi keistimewaan. Dengan kata lain, warga negara belum kawin mengalami
diskriminasi hak konstitusional akibat tidak samanya pengaturan umur di
undang-undang.
Pembuat undang-undang tidak berpikir multidimensional
sehingga umur untuk hak yang satu (hak politik) dan umur untuk hak lain
(kawin) tidak dibuat sama.
Peninjauan kembali Undang-Undang Perkawinan
sesungguhnya membuka peluang bagi MK untuk menghapus diskriminasi hak
pilih akibat perkawinan dini, dengan merevisi Undang-Undang Perkawinan
sehingga usia hak pilih dan hak kawin dibikin sama, umur 17.
Akan tetapi, Undang-Undang Perkawinan juga mengandung
diskriminasi lelaki dan perempuan. Perkawinan hanya diizinkan jika pria
sudah berumur 19, sedangkan perempuan umur 16.
Tidakkah diskriminasi gender bertentangan dengan
konstitusi? Demi persamaan hak, kurang masuk akal membuat pria dan
perempuan diizinkan kawin sama-sama umur 16.
Lebih masuk akal, membuat minimal usia perkawinan perempuan dan pria sama-sama 19. Namun, itu setahun lebih tua daripada yang dimohonkan
ke MK, serta dua tahun lebih tua daripada yang ditetapkan Undang-Undang
Pemilu.
Semua itu menunjukkan pembuat undang-undang memang
suka-suka alias semau gue menentukan umur berkaitan dengan hak hukum
warga negara.
Contoh lain, Undang-Undang Perlindungan Anak mendefinisikan anak ialah seseorang yang belum berusia 18 tahun. Itu berarti, pemilu selama ini diikuti anak-anak. Tak hanya itu.
Mengizinkan perempuan kawin umur 16 samalah juga mengizinkan perkawinan anak-anak menurut UU Perlindungan Anak. DPR seharusnya melakukan amendemen terbatas semua undang-undang dengan fokus untuk satu urusan saja, yaitu umur. Usul itu sederhana, tetapi DPR kiranya enggan melakukannya.
Mengapa?
Seperti halnya penetapan umur dilakukan semau gue,
dalam pembahasan undang-undang, DPR pun gemar semau gue dan meluas
sehingga yang lahir bukan penyempurnaan, melainkan undang-undang sama
sekali baru, misalnya UU MD3. Kegemaran seperti itu menimbulkan resistensi dan kecurigaan publik bahwa ada agenda tersembunyi di benak DPR.
Jadi, demi negara ini memiliki UU dengan umur warga
yang sama dan masuk akal, DPR kiranya perlu berpikir simpel dan
menertibkan diri yang semau gue.
Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.