Jenderal-jenderalan

268

PERASAAN saya campur aduk tiap kali melihat menteri berpakaian dinas berderetan bintang di bahu bak seorang jenderal. Suatu kali saya merasa geli sendiri karena pemakainya kelihatan wagu, alias kaku dan ‘beku’. Gagah artifisial, membuat saya tertawa kecil, dalam hati. Kali lain, kembali melihat ‘jenderal-jenderalan’ itu di layar televisi membuat saya terusik berat.

Maaf, sejuta maaf, tidakkah sang menteri tengah mematut-matut diri berwibawa sebagai petinggi negeri, dalam identitas baru? Lebih dulu saya harus memeriksa ulang diri sendiri, siapa tahu saya kehilangan kewajaran dalam memandang. Tidakkah saya rada ‘eror’ sehingga melihat menteri berseragam dinas dengan bintang-bintang di bahu terlihat seperti orang-orangan di sawah menakut-nakuti burung?

Suatu hari di masa Jokowi baru menjadi Gubernur Jakarta, saya juga geli melihatnya berpakaian dinas dengan tiga bintang di bahu, membalut tubuh kerempeng. Namun, kayaknya Jokowi punya cermin autokritik. Gubernur nyaris tak terlihat lagi mengenakannya. Ia lebih kerap berkemeja putih dan tampak pas hingga kini sebagai presiden. Gubernur ialah kepala daerah.

Ia pemimpin teritorium. Di wilayahnya setidaknya ada pangdam dan kapolda yang di bahunya bertengger paling banyak dua bintang. Jadi, ada logikanya bila gubernur berbaju dinas berbintang tiga, lebih tinggi daripada pangdam dan kapolda. Pertanyaannya, apa logikanya menteri mengenakan banyak bintang di bahunya? Bintang empat milik kepala staf angkatan, Kapolri, juga Panglima TNI, sekalipun Panglima TNI di atas kepala staf.

Dari sudut tingginya pangkat, berpikir linear, presiden sebagai Panglima Tertinggi TNI kiranya berbintang lima. Namun, perwira tinggi bintang lima sebaiknya dipertahankan hanya sebagai predikat kehormatan untuk sangat sedikit prajurit hebat, sangat hebat. Jangan diobral, misalnya otomatis presiden ialah jenderal berbintang lima.

Demikianlah sebanyak-banyaknya bintang di bahu presiden ya cuma empat. Namun, sebaiknya presiden, sebagai supremasi sipil, tidak usah mengenakannya, berapa pun banyaknya bintang yang disematkan. Lalu berapa pantasnya, patutnya, pasnya bintang di bahu menteri yang notabene pembantu presiden dan bukan pula jenderal beneran?

Logikanya, tentu di bawah empat, terbanyak tiga. Karena itulah, saya geli sendiri melihat ada menteri yang di bahunya bertengger empat bintang. Menteri itu ialah Menteri Perhubungan Ignasius Jonan. Jonan pemimpin korporasi yang sukses melakukan turnaround di PT KAI. Ia tegas terhadap kasus Air Asia yang jatuh akhir tahun lalu, yang saat itu terbang tanpa izin dari Surabaya.

Ia juga bertindak keras terhadap aparat di Bandara Pekanbaru yang kecolongan meloloskan penumpang gelap naik di roda pesawat sampai Bandara Soekarno-Hatta. Akan tetapi, memandang sang menteri di layar TV mengenakan seragam berbintang empat di bahu membuat saya terkadang geli sendiri, teringat jenderal-jenderalan atau orang-orangan di sawah.

Bahkan, terkadang meragukannya, tidakkah ia sedang berbenah identitas? Jangan-jangan ketegasan tindakannya hanyalah bagian proses beridentitas, setelah mengalami mobilitas vertikal kagetan, dari Dirut KAI menjadi menteri. Saya harap saya keliru besar. Semua bahasan sok pintar itu, sejuta maaf, sebenarnya hanya menuju satu saran agar Menteri Perhubungan mengurangi satu bintang di bahu. Jauh lebih baik tanggalkan saja seragam jenderal-jenderalan itu, yang juga tampak seperti orang-orangan di sawah.

Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.