Pintu KPU untuk Dinasti
DALAM rangka pilkada serentak, Komisi Pemilihan Umum
(KPU) pekan lalu mengeluarkan surat edaran berisi pengertian ‘petahana’
yang dibuat semaunya, melawan pemahaman publik, tetapi menyenangkan jiwa
dan raga petahana. Sebuah bukti betapa sepucuk surat edaran dengan gampangnya menganulir pengertian dalam peraturan.
Surat edaran itu ialah Surat Edaran KPU No
302/KPU/VI/2015 yang bersifat sangat segera, dikeluarkan 12 Juni 2015,
sebulan setelah pada 12 Mei 2015 KPU menerbitkan Peraturan KPU No 9
Tahun 2015 tentang Pencalonan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur,
Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Wali Kota dan Wakil Wali Kota.
Peraturan KPU No 9 Tahun 2015 berisi perubahan besar
yang semula dipujikan karena dengan sadar negara melalui KPU hendak
memutus dinasti petahana dari sudut mana pun.
Pasal 4 ayat 11 peraturan itu gamblang mengatur bahwa
calon peserta pilkada tidak memiliki ikatan perkawinan suami atau istri
dengan petahana; tidak memiliki hubungan darah satu tingkat lurus ke
atas, yaitu bapak/ibu atau bapak mertua/ibu mertua dengan petahana;
tidak memiliki hubungan darah satu tingkat lurus ke bawah, yaitu anak
atau menantu dengan petahana; tidak memiliki hubungan darah ke samping,
yaitu kakak/adik kandung, ipar, paman atau bibi dengan petahana.
Singkatnya, hubungan darah dengan petahana mulai ‘satu ranjang’ hingga
berbeda ‘kamar’ dan ‘rumah’ diputus habis.
Namun, peraturan progresif itu juga habis seketika dengan dikeluarkannya Surat Edaran KPU No 302/KPU/VI/2015.
Mengapa?
Karena pengertian ‘petahana’ dalam surat edaran itu
dinyatakan tidak termasuk dalam pengertian ‘petahana’ pada ketentuan
Pasal 1 angka 19 Peraturan KPU No 9 Tahun 2015, yaitu ‘Petahana adalah
gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, wali kota, atau wakil
wali kota yang sedang menjabat’.
Pengertian ‘sedang menjabat’ itulah yang dibunuh
habis oleh surat edaran itu dengan cara menjadikan masa pendaftaran
pencalonan pilkada sebagai batas waktu ‘sedang menjabat’.
Surat edaran itu mendefinisikan bahwa bukan petahana
bila tidak lagi sedang menjabat sebelum masa pendaftaran melalui tiga
kemungkinan lubang hukum yang diciptakan surat edaran itu.
Pertama, masa jabatannya berakhir sebelum masa pendaftaran.
Kedua, mengundurkan diri sebelum masa jabatannya berakhir yang dilakukan sebelum masa pendaftaran.
Ketiga, berhalangan tetap sebelum masa jabatannya berakhir dan terjadi sebelum masa pendaftaran.
Masa pendaftaran pencalonan pilkada ialah 26-28 Juli 2015.
Maka, bila satu dari tiga lubang itu terjadi sebelum
26 Juli, petahana bukan lagi petahana dan karena itu orang yang memiliki
hubungan darah dengannya dapat ikut pilkada guna meneruskan dinasti.
Demikianlah surat edaran KPU berisi akal-akalan
terhadap makna ‘sedang menjabat’ dikaitkan dengan masa pendaftaran
pencalonan pilkada, yang dilepaskan sama sekali dari masa petahana
berkuasa maupun semasa petahana berkuasa dalam jabatannya.
Semua kekuasaan petahana itu lenyap seketika di batas waktu sebelum 26 Juli 2015, sebelum masa pendaftaran.
Surat edaran tersebut ditujukan kepada ketua KPU
provinsi dan ketua KPU kabupaten/kota seluruh Indonesia dan tembusan
disampaikan kepada Ketua Badan Pengawas Pemilu di Jakarta.
Isinya disebutkan merupakan penjelasan sehubungan dengan pertanyaan yang diajukan terkait Peraturan KPU No 9 Tahun 2015.
Tidak dijelaskan siapa yang bertanya dan mengapa harus dijawab dengan surat edaran.
Yang pasti surat edaran berisi penjelasan atas
peraturan malah dipakai membunuh pengertian petahana yang diatur dalam
batang tubuh peraturan.
Melalui surat edaran itu KPU membuka pintu
lebar-lebar bagi petahana mendirikan kerajaan baru berdasarkan hubungan
darah, dinasti-dinasti baru di tingkat lokal.
Jangan heran bila sebelum 26 Juli 2015 banyak petahana mengundurkan diri demi meneruskan dinasti.
Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.