Palsu

321

SAMA-SAMA palsu, gigi palsu jauh lebih terhormat
daripada ijazah palsu. Penyebabnya jelas, antara lain, yang satu legal,
yang lain melanggar hukum.

Memakai gigi palsu merupakan kebutuhan sekaligus
pengakuan. Di situ ada keperluan fungsional karena yang ompong tak bisa
menggigit.

Sudah tentu sedikit banyak pula beralasan estetika, soal pentingnya pengakuan enak dipandang. Tak ada bagus-bagusnya ompong.

Lagi pula menutupi keompongan dengan gigi palsu, baik
berbentuk permanen maupun pasang-copot, merupakan perbuatan sah di
tangan kaum profesional, dokter gigi.

Yang menyedihkan sekaligus menggelikan ialah
menyamakan kedudukan dan kehormatan gigi palsu dengan ijazah palsu.
Ijazah palsu dibuat juga karena kebutuhan fungsional dan pengakuan
(sosial).

Dalam berbagai cabang kehidupan, hanya bergelar S-1
tidak menggigit, S-2 kurang menggigit, S-3 baru menggigit. Persis
seperti tiga gigi ompong, perlu tiga gigi palsu agar fungsional dan
sekaligus ‘estetis’.

Ijazah kesarjanaan memang pada dasarnya secarik kertas pengakuan. Ia buah bersusah payah terutama dalam berpikir.

Setelah memperolehnya, ijazah mestinya menjadi pemicu
untuk dibuktikan dalam dunia nyata bahwa yang tertera di kertas mewujud
dalam realitas.

Yang berkembang kemudian kertas yang dikultuskan.
Menganggap rendah proses, menilai tinggi pengakuan formal yang
dinyatakan di atas secarik kertas.

Ijazah bukan saja tidak lagi mencerminkan ‘isi’ berpikir, bahkan tidak berisi sama sekali.

Ia benar-benar kosong, kopong, melompong. Bergelar
doktor, tapi lebih cocok untuk mondok di kantor.Sampai di situ kiranya
orang hanya bisa geleng-geleng kepala atau paling jauh mengelus dada.
Namun, kenyataan lebih parah lagi karena kertas yang dikultuskan bukan
lagi yang asli, melainkan yang palsu.

Bergelar doktor, tapi tak berisi, sudah satu perkara.
Sudah tak berisi, palsu pula, menjadi dua perkara. Menjadi tiga perkara
karena sang doktor palsu ternyata rektor. Betul-betul imannya tekor dan
bocor.

Apa sebetulnya yang terjadi di dunia gelar?

Salah satu jawabnya harus dicari dalam berpikir dan tidak berpikir di tengah masyarakat penyanjung kehormatan tanpa berpikir.

Aku berpikir maka aku ada. Berubah menjadi aku berijazah maka aku ada.

Di titik itu tak ada lagi hubungannya dengan
berpikir. Setelah itu, menjamurlah orang-orang yang tidak berpikir atau
pendek pikiran mereka dengan ‘aku ada’ yang palsu di tengah masyarakat
penyanjung kepalsuan kehormatan karena enggan berpikir.

Hemat saya, kepalsuan terbesar abad ini di negeri ini
ialah ketika perguruan tinggi menjadi tempat perlindungan kepalsuan
ijazah dengan mengangkat penyandangnya rektor. Sebaiknya semua rektor di
negeri ini diperiksa ulang keaslian gelar doktornya. Setelah itu
giliran orang-orang terhormat lainnya.

Pada titik itu, kepalsuan kehormatan mereka pun perlu dibongkar habis.

Kata Kierkegaard, filsuf Denmark, “Dalam
kegagalannya, orang beriman menemukan kemenangannya.” Sekarang kearifan
itu saya pinjam menjadi kebalikannya, “Dalam kemegahannya, orang
bergelar menemukan kehancurannya dalam kepalsuannya.

Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.