Lubang

290

KEPASTIAN hukum ialah kepastian banyak lubang. Tak lolos lubang satu, banyak lubang lainnya. Pada mulanya carilah keadilan sampai ke lubang di ujung langit. Pada akhirnya, carilah kesempatan bernapas sedikit hari lagi, di lubang yang sangat sempit sekalipun. Orang mengajukan grasi karena harapan di Mahkamah Agung selesai. Grasi ditolak presiden, harapan punah. Namun, belum semua lubang tertutup. Peninjauan kembali masih terbuka, atau masih bisa dibuka, kendati lubang kecil. Bukankah penegak hukum harus menghormati hukum? Eksekusi mati harus ditunda, langit runtuh sekalipun. Tak ada artinya novum jika orang telah dieksekusi mati. Sekalipun penasihat yang paling baik ialah yang sudah meninggal, unggulah putusan MA.

Apa yang terjadi jika MA mengabulkan PK terpidana mati yang grasinya ditolak? Muncul paduan suara mengajukan PK. Sebaliknya, muncul juga kor telah terjadi ketidakpastian hukum. Salah satu tugas Polri ialah menetapkan tersangka. Karena itu, ketika jenderal polisi menolak dirinya dijadikan tersangka, tentu dia tahu betul apakah hal itu dapat dipraperadilankan atau tidak. Tahu betul karena hukum punya lubang. Lubang tetaplah lubang meskipun langit runtuh. Orang tahu hukum juga tahu betul reruntuhan langit sekalipun tak cukup menutupi lubang hukum. Karena itu, dapat melihat dan memanfaatkan lubang merupakan bagian dari kecerdasan penegak hukum. Apakah hakim praperadilan tahu bahwa putusannya merupakan hukum itu sendiri? Pertanyaan bodoh sebab kendati di atas langit masih ada langit, hakim bebas memutus perkara.

Bahwa putusannya preseden dan juga menciptakan lubang, itu dibuktikan fakta beramai-ramai tersangka ke praperadilan. Mereka berharap menikmati lubang yang sama. Sepertinya tesis kembali melahirkan antitesis. Putusan hakim ialah kepastian hukum yang kemudian diserang sebagai menciptakan ketidakpastian hukum. KPK hadir justru karena tak terhingga banyak dan besarnya lubang di negeri ini. Sedetik pun tak pernah terbayangkan KPK menjadi pesakitan dan sebagai institusi penegak hukum yang berwibawa membutuhkan pembelaan hukum untuk menghadapi serangan dari berbagai lubang. Kini 10 personel Biro Hukum KPK keteteran menghadapi banyaknya tersangka yang menggugat di praperadilan. KPK lalu meminta MA menerbitkan surat edaran agar penetapan tersangka tidak lagi menjadi objek praperadilan karena menimbulkan ketidakpastian hukum.

Di situ ada urusan keterbatasan sumber daya manusia yang kiranya dapat diatasi dengan beramai- ramai gratis membantu pembelaan hukum untuk KPK. Akan tetapi, di situ juga ada urusan substansi. Menyerahkan kepastian hukum pada sepucuk surat edaran dari yang agung sekalipun tak bijak dari sudut esensi. Surat edaran tak boleh lebih hebat daripada putusan pengadilan. Nyatanya, Maret lalu, tiga hakim di tiga pengadilan negeri (Purwokerto, Pontianak, dan Sumedang) menolak permohonan praperadilan. Seorang hakim bahkan tegas memutuskan sidang praperadilan tidak memiliki kewenangan memutuskan masalah penetapan tersangka. Putusan tiga hakim itu jangan diremehkan sebagai ‘detoxing’ lubang lokal, di bawah la ngit lokal. Ketiganya jelas menciptakan kepastian hukum dan tidak secara langsung mengoreksi bagian dirinya sendiri yang dilakukan seorang sejawat hakim yang bergema secara nasional. Pelajaran tak enak, betapa sulitnya menghargai perkara-perkara kecil dan betapa gampangnya tenggelam dalam isu besar.

Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.