Neurosis Rupiah
KETIKA terjadi gonjang-ganjing rupiah, untuk
menenangkan hati publik, angka psikologis dan fundamental ekonomi pernah
dimainkan dalam orkestrasi paradox in harmony.
Angka psikologis ditiadakan atau tak diakui eksistensinya.
Sebaliknya, fundamental ekonomi ditonjolkan atau eksistensinya ditunjukkan. Dalam paradoks itulah publik hendak dibikin adem.
Angka psikologis ialah angka keramat yang menakutkan,
bila terlampaui. Fobia itu harus dienyahkan dengan cara kekuasaan
verbal membunuh angka psikologis, sang penyebab.
Upaya meniadakan eksistensi angka psikologis itu
misalnya terjadi pada Selasa, 16 Juli 2013. Ketika itu rupiah menembus
angka psikologis 10.000, yaitu melemah berada pada 10.036 per dolar AS.
Menko Perekonomian Hatta Rajasa mengatakan angka 10.000 bukan angka psikologis. “Tidak ada itu angka psikologis.”
Setelah pemerintah meniadakan angka psikologis, itu dilanjutkan keterangan bahwa fundamental ekonomi baik.
Pelemahan rupiah itu terjadi karena kebijakan
quantitative easing Bank Sentral Amerika Serikat dan juga situasi
makroekonomi dunia.
Pelemahan nilai tukar bukan hanya terjadi di
Indonesia. “Rupee India melemah luar biasa dan tentu kita yakin kita
akan menguat kembali.” Pelemahan rupiah bersifat sementara.
Ternyata yang sementara itu berkepanjangan sampai pemerintahan SBY berakhir 15 bulan kemudian.
Pada Jumat, 17 Oktober 2014, yaitu hari terakhir pasar sebelum SBY digantikan Jokowi, rupiah ditutup pada 12.109 per dolar AS.
Sejarah mencatat rupiah tak kembali menguat ke nilai tukar di bawah angka psikologis 10.000.
Kini rupiah melemah menembus 13.000 per dolar AS.
Pemerintah berganti, tetapi jawaban perihal fundamental ekonomi tetaplah
orkestrasi harmoni yang sama. Rupiah melemah karena faktor eksternal.
Yang menarik ialah pada angka 13 (ribu) itu orang tak
lagi meributkan angka psikologis. Mungkin karena angka itu sendiri
sudah mengandung angka sial.
Amit-amit, menambahkan angka psikologis pada angka 13 membuatnya dua kali sial.
Saya tak percaya angka sial. Saya lebih percaya
terjadi pelonggaran angka batas derita moneter. Angka psikologis
terdorong lebih tinggi menjadi angka neurosis disertai harapan atau doa
semoga tak kesampaian. Angka neurosis itu ialah 15.000 per dolar AS.
Apakah saya berhalusinasi? Tidak, sekalipun
halusinasi juga ranah psikologi. Sebagai gambaran, ketika rupiah
menembus 13.000 per dolar AS, Taufik Kurniawan, Wakil Ketua DPR,
berkomentar, “Jangan sampai lebih dari 15.000. Waduh, bahaya itu.”
Bukankah itu angka derita lebih tinggi?
Obat ‘generik’ yang biasa dipakai otoritas moneter mengatasi derita ialah menguras cadangan devisa.
Begitu angka psikologis terlampaui, yaitu cadangan
devisa merosot di bawah US$100 miliar, giliran petinggi Bank Indonesia
yang membunuh angka psikologis itu.
Sejujurnya rupiah memang sakit. Namun, sulit
mengakuinya dengan menutupinya bahwa ekonomi kita baik. Sampai kapan?
Penyangkalan itu membuat soal waktu saja rupiah bergerak ke angka
neurosis.
Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.