Angin Lalu

377

DI tengah masyarakat selalu ada suara rakyat yang tiada terdengar atau terdengar, tetapi tak didengarkan. Sebaliknya, selalu ada pemerintah yang mendengar, tapi tak mendengarkan, hearing without listening.

Umumnya jarang sekali pemerintah peduli terhadap suara yang nyaris tiada terdengar. Telinga kekuasaan peka terhadap yang vokal. Kendati demikian, kebanyakan cenderung mendengarkan suara yang memang cocok untuk didengarkan.

Sebutlah suara perihal moratorium. Terdengar, tetapi tiada didengarkan. Bagai angin lalu. Tentu ada suara kencang bak anjing menggonggong, dengan jawaban yang juga jelas, kafilah berlalu. Jadi, tak usah heran bila moratorium telah disuarakan, misalnya, tetapi pemekaran daerah dan pembangunan mal, jalan terus.

Suara terdengar, tetapi tak didengarkan itu antara lain terpapar di spanduk di Jalan Kaliurang Km 11, Sleman, Yogya. Isinya, ‘Menolak apartemen di Dusun Gadingan’. Ada juga statemen ‘Kearifan lokal wajib dijaga’. Membacanya pekan lalu sempat membuat saya tercenung.

Apakah perlunya spanduk setelah warga menyampaikan aspirasinya kepada DPRD? Apakah spanduk lebih berwibawa dan berkuasa ketimbang DPRD Kabupaten Sleman? Sebelumnya, warga Dusun Gadingan, Desa Sardonoharjo, Ngaglik, telah mendatangi DPRD Kabupaten Sleman menyampaikan penolakan mereka, yang intinya pembangunan apartemen bakal mengeringkan sumur penduduk dan limbah apartemen mencemarkan lingkungan warga.

Protes warga Dusun Gadingan bukan protes pertama menolak rencana pembangunan apartemen di Daerah Istimewa Yogya. Dua tahun lalu, tepatnya 2 Oktober 2012, warga Dusun Gejayan, Desa Condong Catur, Sleman, mendatangi DPRD yang sama, menyampaikan penolakan rencana pembangunan apartemen juga dengan alasan yang sama. Apartemen yang dimaksud kini menjadi hunian, antara lain, dijual dengan predikat apartemen khusus mahasiswi.

Apartemen ialah tanda perubahan. Orang tua masa kini berduit dan sadar berinvestasi, tentu lebih memilih membeli unit apartemen ketimbang anaknya indekos. Sambil menyelam minum air. Ketika anak diwisuda sarjana, harga apartemen telah melejit naik. Apartemen bertumbuh juga untuk disewakan harian, mingguan, bulanan, sebagai alternatif hotel.

Protes serupa pun dilayangkan karena maraknya pembangunan hotel. Alasannya sama, menyedot air tanah, mengeringkan sumur penduduk. Keringnya sumur warga akibat pembangunan hotel bukan lagi ancaman di masa depan, melainkan hari ini. Karena itu, warga yang tinggal di sekitar hotel protes.

Akan tetapi, jawaban pelaku bisnis standar/normatif, yaitu semua persyaratan/aturan termasuk perihal pengadaan air tanah telah digenapkan. Demikianlah, formalisme/legalisme menang berhadapan dengan realisme, sekalipun yang terakhir itu derita rakyat.

Pertambahan hotel dan apartemen jelas meningkatkan kebutuhan air tanah. Pemakaian bertambah tanpa disertai pengisian kembali air ke dalam tanah karena buruknya resapan air hujan.

Air tanah ialah air bersih alami ciptaan Sang Khalik Langit dan Bumi. Tak kecuali di DIY, betapa pun istimewanya negeri itu. Membiarkan air tanah dikeringkan oleh siapa pun, termasuk industri, jelas tergolong dosa besar.

Tak bisa lain, pemerintah harus memperbaiki resapan air hujan untuk memulihkan persediaan air tanah, juga segera membereskan persediaan air bersih buatan manusia. Bahkan, moratorium hotel baru. Tak baik negara (pemda dan DPRD) pura-pura tidak tahu, mendengar, tapi tak mendengarkan, memperlakukan suara rakyat bagai angin lalu. Bisa tuli beneran.

Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.