Agresivitas SBY

295

SBY, presiden RI 10 tahun, secara terbuka menyampaikan hasrat hatinya ingin bertemu Jokowi, Presiden RI sekarang.

Katanya, ia ingin bicara blak-blakan dengan Jokowi.

Apa yang ingin disampaikannya?

Katanya, ia ingin membicarakan perihal informasi intelijen yang menuduhnya mendanai aksi 4 November 2016, rencana pengeboman Istana Negara, dan urusan makar.

“Saya ingin klarifikasi dengan niat baik dan tujuan baik supaya tidak menyimpan praduga perasaan enak tidak enak.”

SBY curhat kepada publik bahwa Jokowi pun ingin bertemu dengannya, tapi dilarang dua-tiga orang di sekeliling Jokowi.

Pernyataan itu mengundang reaksi Johan Budi, juru bicara Presiden Jokowi, agar SBY menyebut siapa yang dimaksud.

Sekretaris Kabinet Pramono Anung menjawab bahwa Presiden menerima semua pihak yang ingin bertemu, tinggal mengikuti prosedur yang berlaku di Istana Kepresidenan, yaitu melalui Menteri Sekretaris Negara Pratikno.

Akan tetapi, belakangan ada sinyal bahwa pertemuan Jokowi-SBY diagendakan setelah pilkada Jakarta selesai.

SBY jelas sangat berkepentingan dengan pilkada Jakarta karena anak kandungnya, Agus Harimurti Yudhoyono, berpasangan dengan Sylviana Murni, menjadi salah satu calon Gubernur Jakarta.

Demikian tebal dan kental kepentingan memenangkan putra mahkotanya itu sampai-sampai SBY melakukan tiga gaya kampanye sekaligus, yaitu agresif, reaktif, dan berimprovisasi.

Agresivitas yang pertama terjadi pada Rabu, 2 November 2016, melalui konferensi pers di kediamannya di Cikeas.

Salah satu isinya, SBY menekankan bahwa Ahok harus diproses secara hukum karena melakukan penistaan agama.

Jangan sampai Ahok dianggap kebal hukum.

Hal itu harus dilakukan kalau ingin negara kita ini tidak terbakar oleh amarah para penuntut keadilan. Sekadar merujuk, di situlah keluar sebutan ‘lebaran kuda’.

Agresivitas kedua terjadi pekan lalu, tepatnya1 Februari 2017, juga dalam jumpa pers, di Kantor Pusat Partai Demokrat di Jalan Proklamasi Jakarta, yang juga markas pemenangan pasangan Agus-Sylvi.

SBY meminta yang berwenang mengusut penyadapan teleponnya.

Selain itu, ia menyampaikan hasratnya untuk bertemu dengan Jokowi.

Agresivitas yang pertama lebih merupakan reaksi SBY atas informasi intelijen bahwa SBY membiayai demo 4/11 yang menuntut Ahok dibawa ke muka hukum.

Agresivitas kedua merupakan reaksi SBY terhadap pertanyaan pengacara Ahok di pengadilan apakah Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Ma’ruf Amin menerima telepon dari SBY.

Jelaslah, apa pun kontennya, agresivitas dan reaksi SBY itu semuanya terjadi dalam konteks yang sama, pilkada Jakarta, yakni anaknya Agus menjadi salah satu calon gubernur yang antara lain berhadapan dengan petahana Ahok.

Dalam bahasa lain, sesungguhnya SBY berimprovisasi berkampanye untuk anaknya itu.

Improvisasi itu mendapat panggung sangat istimewa bila Presiden Jokowi mengabulkan permintaan SBY bertemu sebelum pilkada Jakarta berlangsung.

Jokowi harus netral terhadap calon gubernur yang mana pun.

Tidak terkecuali terhadap anak mantan Presiden RI 10 tahun.

Karena itu, dengan penuh hormat kepada SBY, sudah betul pertemuan Jokowi-SBY diselenggarakan setelah pilkada Jakarta.

Bahkan sebaiknya tegas disampaikan kepada publik (semata karena SBY memintanya melalui jumpa pers), bila pilkada Jakarta berlangsung dua putaran, pertemuan Jokowi-SBY itu baru terjadi setelah putaran kedua tuntas.

Tas, tas, tas! Alias, tunggulah penetapan siapa Gubernur Jakarta terpilih oleh KPU Jakarta.

Sekadar saran, baiklah SBY berimprovisasi tanpa perlu agresif dan reaktif. Gunung tinggi atau gunung rendah, tak lari dikejar, betapa pun besar harapan terhadap anak sendiri.

Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.