Fakta Alternatif

307

BERAPA banyak orang menyaksikan inaugurasi Donald Trump menjadi presiden AS? Jawaban media jurnalisme atas pertanyaan itu membuat Trump kebakaran jenggot dan tercetuslah apa yang disebut ‘fakta alternatif’. Media jurnalisme melaporkan bahwa keramaian inaugurasi Presiden Trump dihadiri sekitar 500 ribu orang, sedangkan inaugurasi Presiden Barack Obama pada 2009 dihadiri sekitar 1,5 juta orang.

Perbandingan itu membuat penghuni baru Gedung Putih berang dan keluarlah bantahan. Kata Sean Spicer, Sekretaris Pers Gedung Putih, inaugurasi Trump-lah yang terbesar, dihadiri sampai memadati ke belakang Monumen Washington. The New York Times menangkis fakta versi Gedung Putih itu dengan menampilkan foto dari udara ketika Obama diinaugurasi dijejerkan dengan gambar hasil kamera televisi ketika Trump diinaugurasi, di lokasi yang sama.

Nyata benar bedanya! Koran itu bahkan mengundang ahli untuk menghitung jumlah setiap hadirin. Hasilnya signifikan bahwa yang menghadiri inaugurasi Trump sekitar sepertiga jumlah yang menghadiri inaugurasi Obama. Pihak Trump juga mengemukakan fakta lain. Pemirsa yang menonton inaugurasi Trump lebih banyak daripada pemirsa waktu Obama.

The New York Times menghajarnya dengan data Nielsen. Obama ditonton 37,7 juta pemirsa di AS, Trump 30,6 juta. Data lain, Ronald Reagan (1981) ditonton 41,8 juta pemirsa, Jimmy Carter (1977) ditonton 34,1 juta, dan Richard Nixon (1973) ditonton 33 juta pemirsa. Upaya membesarkan fakta tidak berhenti sampai di situ.

Di hari inaugurasi Trump, katanya penumpang Metro sebanyak 420 ribu, lebih banyak ketimbang saat Obama diinaugurasi kedua kali menjadi presiden AS (2013) yang hanya 317 ribu. The New York Times membuka data dari operator transportasi publik itu bahwa di hari inaugurasi Trump jumlah penumpang 570.557, dan saat Obama 782.000.

Pertanyaannya, untuk apa Sekretaris Pers Gedung Putih Sean Spicer membuat fakta palsu, statistik bohong itu? Chuck Tood, pembawa program Meet the Press di NBC, mencecar habis-habisan Kellyanne Conway, konselor untuk Presiden Trump. Apa jawabnya? Untuk memberi fakta alternatif. Atas jawaban itu, Tood menukas ketus, “Alternatif bukan fakta. Semua itu dusta.”

Tidak bisa tidak, orang harus membuka kembali data perihal kegemaran Trump menyampaikan kebohongan. Selama kampanye 70% pernyataannya salah. Bandingkan dengan Hillary Clinton yang hanya 28%. Penulis biografinya menyebut Trump menyukai frase ‘truthful hyperbole’, kemudian Trump mendakunya, bahwa dialah yang ‘menciptakan’ sebutan itu.

Trump tampak menikmati kebohongan, bukan sebagai taktik, melainkan kebiasaan yang melekat. Bahkan, ada yang menilai kebohongan telah tertanam mendalam, mendarah daging. Yang telah tertanam mendalam itu ‘meledak’ ketika ketemu sumbu dinamit pendelegitimasian kekuasaan. Upaya mendelegitimasi Trump bukan fakta karangan. John Lewis, pemimpin gerakan hak-hak sipil, lima kali terpilih sebagai wakil rakyat dari Partai Demokrat, terang-terangan menyatakan kepada publik bahwa dia memboikot inaugurasi Trump karena tidak mau memberinya legitimasi.

Setelah orang terpilih menjadi presiden, diinaugurasi, disumpah, apa makna legitimasi? Melangkah ke depan. Trump sebaliknya. Yang pertama dilakukannya mengambil keputusan menegasikan program Obama, membatalkan Trans-Pacific Partnership yang diikuti 12 negara, dengan alasan untuk menyelamatkan pekerja Amerika. Sebuah keputusan yang menyenangkan Tiongkok karena dengan sendirinya Trump menggembosi pengaruh AS di Asia dan Pacific Rim.

Padahal, salah satu tujuan Obama memelopori TPP ialah untuk menghambat pengaruh Tiongkok di kawasan itu. Kendati telah bersinggasana di Gedung Putih, Trump masih terus berkoar bahwa dia kalah dalam popular vote karena jutaan pemilih ilegal. Tapi koaran itu tidak disertai bukti. Seperti diketahui, Trump menang dalam electoral college, tapi kalah dalam popular vote, yang membuat dia presiden dengan legitimasi gepeng, tidak bulat.

Sangat jelas Trump bernafsu mengempiskan, bahkan menghabisi legacy Obama yang terbaik sekalipun, termasuk program asuransi kesehatan Obamacare yang berpihak kepada rakyat. Trump sepertinya punya insting destruktif, tanpa menghabisi Obama, sampai kapan pun, ia tidak ada apa-apanya bila diperbandingkan dengan Obama.

Untuk itu, Trump bakal terus memproduksi ‘fakta alternatif’, antara lain melalui akun Twitter-nya yang telah resmi menjadi akun presiden. Ia mengira otak orang (termasuk otak media jurnalisme) dapat tercuci dengan sendirinya karena terbiasa dibombardir kebohongan. Mr President, kapokmu kapan?

Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.