Siapa Mencintai Indonesia?

297

PERTANYAAN itu mengandung ketololan.

Terus terang, di tengah suasana kebatinan patriotis merayakan Hari Kemerdekaan Ke-71 RI, saya bersedia dinilai tolol karena merasa tidak tahu siapa mencintai Indonesia, siapa pula membenci Indonesia.

Apakah Bung Karno mencintai Indonesia?

Pertanyaan tolol sekali. Rakyat tahu, bahkan dunia tahu, Bung Karno ialah proklamator kemerdekaan RI.

Presiden pertama itu pernah dibahasakan sebagai Pemimpin Besar Revolusi.

Namun, oleh kekuasaan dan tuntutan Angkatan 66 yang juga mencintai Indonesia, Bung Karno akhirnya wafat dalam status tahanan politik.

Apakah Pak Harto mencintai Indonesia?

Pertanyaan tak kalah tolol.

Presiden kedua itu membawa perubahan besar melalui Repelita demi Repelita, demi kehidupan rakyat yang lebih baik.

Ia pernah dibahasakan sebagai Bapak Pembangunan, tetapi oleh kekuasaan dan tuntutan reformasi yang mencintai Indonesia, Pak Harto pun wafat dalam status ‘tawanan’ politik.

Sri Mulyani suatu hari meletakkan jabatan selaku menteri di masa Presiden SBY untuk menjadi Direktur Bank Dunia.

Apakah Sri Mulyani tidak mencintai Indonesia?

Pertanyaan tolol banget.

Suatu hari kemudian, Sri Mulyani kembali ke Tanah Air, kembali menjadi menteri di masa Presiden Jokowi.

Apakah itu berarti Sri Mulyani ‘kembali’ mencintai Indonesia?

Pertanyaan bertambah tolol.

Sri Mulyani tidak pernah berhenti mencintai Indonesia.

Pertanyaan tolol itu diragukan ketololannya ketika ditujukan kepada Arcandra Tahar, menteri ESDM, yang diberhentikan dengan hormat dari jabatannya karena kewarganegaraan ganda, AS dan Indonesia.

Padahal, Indonesia menganut kewarganegaraan tunggal.

Apakah Arcandra mencintai Indonesia?

Itu pertanyaan ‘pintol’, pintar-pintar tolol.

Setelah 20 tahun di AS, kembalinya Arcandra membawa keahlian dan pengalamannya kiranya dapat dimaknai sebagai anak yang hilang kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi.

Tidak penting benar mempersoalkan apa motif tinggalnya di luar negeri, seperti tidak dipersoalkan hal yang sama terhadap Sumitro Djojohadikusumo dan BJ Habibie.

Indonesia memerlukannya.

Sekarang marilah pertanyaan serupa dialamatkan kepada anak bangsa pemilik uang yang menyimpannya bertahun-tahun di luar negeri.

UU Pengampunan Pajak mengampuni uang yang stateless itu agar kembali ke Indonesia.

Apakah mereka yang punya uang di luar negeri itu tidak mencintai Indonesia?

Jawaban konsisten seperti terhadap Arcandra, dengan kembalinya aset itu ke Indonesia, di situ bersemayam kesadaran mencintai Indonesia.

Kasus Arcandra menjadi pelajaran.

Pelajaran apa? Apakah ada jawaban praksis, yang mempermudah presiden dapat mendayagunakan anak bangsa di luar negeri, yang berkewarganegaraan ganda, agar kembali ke Tanah Air untuk mengabdi demi bangsa dan negara di jabatan-jabatan strategis selaku penyelenggara negara?

Untuk memperbaiki mutu sepak bola, kita menaturalisasi pemain asing.

Apakah mereka mencintai Indonesia? Itu pertanyaan ketinggalan sepur.

Naturalisasi pemain asing tak memperbaiki mutu sepak bola nasional.

Sebaliknya, kini, kita menghabisi anak bangsa sendiri yang berkualitas internasional seperti Arcandra.

Baiklah dikutip kebijakan pintu terbuka Singapura (1997) untuk memikat foreign talent bekerja dan tinggal di Singapura.

Semua itu demi kemajuan ekonomi Singapura.

Bapak bangsa Lee Kuan Yew yakin benar, anak-anak orang asing bertalenta yang lahir di Singapura bakal menjadi Singaporean sejati.

Arcandra asli Indonesia, beristri perempuan asli Indonesia.

Ironisnya, dia dicopot dari kabinet karena berstatus foreign talent.

Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.