Martabak

382

BERAPAKAH harga martabak? Berapakah pula harga

martabat? Dari sudut idealisme, jarak keduanya mestinya jauh sekali,
bagaikan langit dan bumi.

Akan tetapi, dalam kenyataan, bisa dekat sekali.
Bahkan, maaf, boleh jadi sudah sedemikian rusak etika dan fungsi
kepublikan sehingga tak ada lagi beda martabat dan martabak.

Lihatlah tuts telepon seluler. Jarak martabat dan
martabak hanya empat langkah, dari huruf t ke k. Terpeleset atau
terjatuh sedikit saja jemari, martabat berubah menjadi martabak.

Celakanya, itu tak hanya bisa terjadi di tuts telepon
seluler atau komputer, tetapi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Bahkan salah satu masalah besar. Ketika orang mempersoalkan kejujuran,
kebersihan, integritas, sebenarnya orang sedang mempersoalkan martabat
yang jatuh takhta menjadi martabak.

Martabat ialah kehormatan, harga diri, mahkota. Ia
dijunjung sangat tinggi. Martabat penyelenggara negara bahkan dikukuhkan
dengan sumpah jabatan. Dalam rupiah, berapakah harga martabat? Ketika
rupiah melemah seperti saat ini, apakah harganya juga turut melemah?

Martabat yang padanannya harga diri dan kehormatan
itu tak diperjualbelikan dan tiada terperi harganya. Barang siapa berani
mencoba-coba menawar harganya selayaknya ‘ditabok’. Bukan saja karena
itu termasuk gratifikasi, korupsi, melainkan juga penghinaan.

Sebaliknya, berapakah harga martabak? Tak perlu
tawar-menawar. Bukan saja karena harganya murah, melainkan juga harga
pasti. Di beberapa ibu kota provinsi saya mendapat jawaban harganya tak
sampai Rp25 ribu. Segitulah nilai kehormatan, harga diri jabatan publik,
bila martabat terhina menjadi martabak.

Martabat merupakan hasil pendidikan di rumah dan di
sekolah. Ia bertumbuh di ruang publik yang sehat. Padahal, etika dan
fungsi-fungsi kepublikan itu justru sedang menjadi masalah besar seperti
terjadi dengan anggaran Pemrov DKI. Bila pendidikan dapat diubah
menjadi penilapan, itulah contoh martabat menjadi martabak. Bila
perintah konstitusi anggaran pendidikan 20% dari APBN bisa disulap
antara lain menjadi anggaran pengadaan UPS (uninterruptible power
supply), itulah contoh sakitnya berbangsa dan bernegara.

Membeli dan memberi UPS untuk sekolah, ditilik dari
substansi pendidikan, samalah membeli dan memberi martabak untuk
sekolah. Bukan martabat. Layak dicatat dalam sejarah pendidikan
nasional, itulah harga martabak termahal di dunia, yaitu untuk 25 SMA di
Jakarta Barat harganya Rp145,76 miliar. Membandingkan martabat dengan
martabak bukan kepantasan, melainkan keterlaluan. Akan tetapi,
kenyataan kehidupan kepublikan memang terlalu buruk sehingga perlu
ditilik dengan komparasi tegas dan lugas.

Sebutlah perihal begal yang sekarang intensif dilibas
polisi. Itu begal kelas martabak, kasatmata berkeliaran di ruang publik
bernama jalan raya. Harus tuntas dibasmi, tetapi banyak lagi
begal-begal bentuk lain yang canggih yang tak tampak mata telanjang,
yang sepertinya bermartabat berkeliaran di dalam anggaran negara.

Tak usah ditutup-tutupi bangsa ini sedang menghadapi
kemerosotan integritas pemangku fungsi kepublikan bak jatuhnya martabat
menjadi martabak. Sekali lagi, jarak martabat dan martabak hanya tinggal
empat langkah dari t ke k. Bila terus terjadi pembiaran pembegalan
anggaran, terutama sulap dan tilap anggaran pendidikan, percayalah
bangsa besar ini berubah menjadi bangsa sebesar martabak.

Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.