Pembela Iblis

343

DUA kali Presiden Jokowi mencabut keputusannya. Pertama pencalonan Komjen Budi Gunawan sebagai Kapolri. Kedua Peraturan Presiden No 39 Tahun 2015 tentang uang muka pembelian mobil pejabat negara. Yang pertama telah tutup buku. Yang kedua buku justru baru dibuka. Apa pun bahasa yang dipakai semua pembantu presiden untuk membela, per pres itu dicabut karena mendapat perlawanan publik. Semua pejabat tinggi itu tak perlu di sebut nama dan jabatannya. Atribusi, kedudukan, dan fungsi mereka bukan faktor pembeda.

Semuanya bersuara tunggal. Sebaliknya, apa kata Presiden? Mestinya menteri melakukan screening dan presiden ‘tidak di sorong-sorong seperti ini’. Tentu saja saya bisa bilang sedih amat punya presiden yang bisa disorong-sorong, seperti juga bisa bilang betapa perih punya pembantu berani menyorong-nyorong presiden. Tapi apa gunanya duka lara? arena itu, dengan berpandangan pembantu presiden berhati bersih dan cerdas, jangan-jangan persoalan tim bul karena tiada semacam pembela iblis di ling karan terdalam kekuasaan presiden.

Padahal, pengambil keputusan publik tertinggi justru memerlukan iblis yang diwakili pembela iblis. Guru manajemen, Peter F Drucker, mengatakan ada dua organisasi di dunia yang teruji ke unggulan manajemennya, yaitu organisasi militer dan organisasi Gereja Katolik. Hemat sa ya, dalam hal Gereja Katolik, salah satu faktor karena eksisnya advocatus diaboli, pembela iblis, dalam pengambilan keputusan. Dalam setiap proses kanonisasi, yaitu pemberiangelar ‘orang suci’ di Gereja Katolik, selalu ada orang yang menjadi advocatus diaboli, pembela iblis.

Tugasnya mencari segala kejelekan dari orang yang akan dinyatakan sebagai santo/ santa. Tujuan advocatus diaboli ialah membantu dalam proses mencari objektivitas. Diterjemahkan ke dalam pengambilan keputusan presiden, pembela iblis bertugas memberi pan dangan paling buruk bakal terjadi dari sudut kebatinan publik. Harus ada dissenting opinion yang dilaporkan kepada presiden. Bukankah semua paraf menyertai perpres yang hendak diteken presiden menunjukkan per setujuan? Tak tampak perbedaan, apalagi per tentangan. Padahal, sebaiknya kebijakan pub lik melalui ‘uji’ publik, setidaknya diwakili advocatus diaboli, pembela iblis.

Kesamaan tidak membangkitkan pertentangan. Bisa terjerumus asal bapak senang atau asal DPR senang. Seorang bijak menasihati agar tangan satu menggenggam batu, tangan lain menunjukkan roti. Kalau pembantu presiden kor roti, apalagi menyorong-nyorongkan roti dan menyembunyikan batunya, terjadilah roti terasa batu seperti perpres yang dicabut itu. Mobil sekelas Avanza sekalipun, bukan roti, tapi batu bikin patah hati publik. Membayangkan setiap pembantu presiden me mikirkan hal sama, berpandangan sama, me nyetujui dengan alasan sama, tak ada satu orang pun yang menawarkan sudut pandang lain, argumentasi berseberangan, samalah membayangkan presiden kejeblos neraka. Presiden perlu tahu yang pahit-pahit, bukan yang manismanis belaka. Karena itu, presiden perlu memiliki pembela iblis, yang bersuara bagaikan batu. Lebih bijak presiden tahu batu itu sebelum perpres diteken daripada kena batunya setelah perpres diterbitkan
See more at: http://mediaindonesia.com/podium/read/47/pembela-iblis/2015-04-09#sthash.F6fcCZpv.dpuf

Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.