Penumpang Gelap
HASIL samping reformasi ialah penumpang gelap dan pencuri di tikungan. Keduanya predikat negatif menunjukkan orang tak berkarakter. Reformasi seakan membedah anak bangsa ke dalam kategori ‘aku di sini’ (reformis), ‘engkau di sana’ (soehartois). Padahal, faktanya sejak awal reformasi telah kemasukan penumpang yang dikategorikan ‘di sana’, ternyata berada ‘di sini’, di gerbong reformasi. Itulah yang disebut penumpang gelap. Ada pula yang jeli membaca kesempatan alias berdarah petualang. Di suatu tikungan kendaraan reformasi sedikit melambat. Di situlah yang mestinya berada ‘di sana’ naik dan berada ‘di sini’ selamanya. Itulah pencuri di tikungan.
Tapi apa guna semua predikat itu? Bolak-balik melihat ke belakang bisa tabrakan. Dari zaman kuno ada nasihat memerintah negara besar itu seperti memasak ikan kecil. Tidak boleh membaliknya terlalu sering. Sebab, ikan itu akan hancur. Lagi pula ada atau tak ada penumpang gelap dan pencuri di tikungan, reformasi gagal. Salah satu indikator ialah merebaknya korupsi. Indikator lain yang terjadi bukan cuma nepotisme, melainkan dinasti sebagai isme, hasil pilkada langsung. Reformasi gagal, tetapi rupanya tak dengan sendirinya menghapus predikat penumpang gelap dan pencuri di tikungan. Keduanya terus berlanjut dipakai hingga kini, di zaman tak jelas identitas ini.
Reformasi bukan, revitalisasi bukan, revolusi mental belum kesampaian. Perihal penumpang gelap paling mutakhir dilontarkan Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri ketika membuka kongres di Sanur, Bali, pekan lalu. Tak jelas dan tak penting siapa yang dimaksud. Saya cuma mau menunjukkan dalam konteks pilpres, hasil samping reformasi yang gagal itu ternyata masih sahih digunakan. Pemilu presiden secara langsung ditengarai juga memproduksi hasil samping berupa kalangan ‘tidak berkeringat’. Predikat itu ditujukan kepada person yang dinilai tak berbuat dalam pemilu untuk memenangkan capres, tapi kemudian diangkat menjadi petinggi negeri setelah sang capres menang dan berkuasa. Yang berkeringat menilai bukan saja tak adil, juga menuding yang tak berkeringat itu sebagai orang tak tahu diri.
Padahal, tidak semua keringat tampak mata dan tidak semua keringat perlu diperlihatkan. Penumpang gelap dan pencuri di tikungan jangan-jangan justru berkeringat bercucuran lebih deras. Umumnya orang merasa tak enak mendapat penilaian negatif atas identitas diri. Padahal, orang yang masuk ke lingkaran kekuasaan, berkeringat atau tak berkeringat dalam pilpres, memerlukan dukungan moral, termasuk dukungan moral untuk menegaskan hati nuraninya dan dirinya sehingga mencapai loyalitas terdalam sebagai penyelenggara negara yang bersih dan berdedikasi penuh. Meminjam pendapat seorang pakar di bidang eksekutif orang itu memerlukan perlindungan terhadap semacam kecemburuan.
Yang cemburu mestinya juga menyelesaikan persoalan dengan dirinya sendiri. Norak melihat berbagai elite bangsa tak selesai dengan dirinya sendiri. Paham kebangsaan mengajarkan elite kekuasaan hendaknya diambil dari campuran berbagai sumber dan asal usul. Keseragaman membuat lapuk dan berbahaya bagi kekuasaan. Ekosistem antara lain menjadi kuat terpelihara karena keanekaragaman. Bagi orang bijak, tidak ada orang yang tidak mempunyai harapan. Indonesia kiranya bukan hanya memanggil Anda, tetapi memerlukan Anda. Bukankah selalu terbuka kesempatan bagi siapa pun menjadi patriot?
Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.