Jujur

305

BERKACA pada peribahasa, kiranya nenek moyang kita termasuk arif bijaksana. Sayang mereka telah tiada sehingga tak membaca pujian itu. Dua di antaranya ialah ‘Hemat pangkal kaya’ dan ‘Rajin pangkal pandai’. Bahwa ada yang berhemat dan tak kunjung kaya, jangan salahkan peribahasa. Orang realistis dan sedikit sinis bilang memang harus ada yang miskin untuk menandai ada yang kaya. Saya penasaran, apakah nenek moyang kita juga menciptakan peribahasa tentang jujur. Saya siap dicap sebagai anak cucu kurang ajar berkesimpulan nenek moyang kayaknya tidak mengenal kejujuran.

Dalam buku Kamus Peribahasa (1991) yang disunting oleh Sarwono Pusposaputro, misalnya, tak ada entri kata ‘jujur’. Ada dua kemungkinan. Pertama, jujur dipandang tidak penting. Yang penting pandai dan kaya. Pandai tapi miskin, bukan idaman. Pandai, jujur, miskin, disayangkan bahkan dicemooh. Mudah-mudahan nenek moyang kita bukan jenis yang berpandangan jujur tidak penting. Namun, pernyataan itu gugur ketika saya menemukan peribahasa yang menggunakan kata ‘curi’, yaitu ‘Pandai mencuri serasa mendapat, tak pandai mendapat serasa mencuri’.

Kamus memberi arti, ‘apa yang dicuri secara lihai kelihatannya diraih, apa yang didapat dengan merampas tampak dicuri’. Saya terperangah, tidakkah itu berarti nenek moyang samar-samar merestui mencuri asal dengan lihai? Untung nenek moyang sudah tiada sehingga tak membaca cercaan anak cucu itu. Kemungkinan kedua, dalam alam pikiran nenek moyang bersemayam kejujuran merupakan salah satu kualitas hebat manusia Indonesia yang sudah ada dari sononya, karena itu tak perlu diperibahasakan. Yang perlu diikhtiarkan ialah menjadi pandai dan kaya, untuk itu dinasihati agar rajin dan hemat.

Kemungkinan mana pun yang benar, satu perkara jelas, yaitu jujur tidak eksplisit diekspresikan. Bahkan manusia Indonesia modern dewasa ini membungkus jujur dalam kata ‘integritas’, serapan dari perbendaharaan asing yang tentu saja tak ada dalam peribahasa ciptaan nenek moyang. Contohnya, kita mencari komisioner KPK yang berintegritas. Dengan pengertian dan juga asumsi bahwa dalam ‘integrity’ salah satunya berisi ‘honesty’, tapi kita enggan menyerap lengkap dengan peribahasa ‘honesty is the best policy’. Karena itu, menggembirakan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan mengubah ujian nasional dari penentu kelulusan menjadi upaya memetakan pendidikan nasional dan membangun integritas melalui indeks integritas ujian nasional.

Hanya tujuh dari 34 provinsi dengan SMA/sederajat meraih indeks integritas di atas 80%, yaitu Yogyakarta, Bangka Belitung, Kalimantan Utara, Bengkulu, Kepulauan Riau, Gorontalo, dan Nusa Tenggara Timur. Dulu, UN jadi sarana mencapai prestasi dengan segala cara. UN sebagai penentu kelulusan membuat anak, orangtua, guru, sekolah, dan dinas pendidikan membunuh kejujuran. Padahal, sekolah tempat penyemaian harkat kemanusiaan dan prestasi tidak boleh dicampuradukkan dengan harkat manusia. Atlet yang memecahkan rekor dengan doping harus dicabut harkatnya. Ia sesungguhnya telah mati. Singa mati tidak lebih berharga daripada anjing hidup. Sekarang UN dimaksudkan mengikis kecurangan. Namun, sejauh ini belum tampak apresiasi bahwa tertinggi dalam kejujuran lebih membanggakan dan dihargai daripada tertinggi dalam prestasi dengan menjiplak sekalipun.

Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.