Tanah yang Baik

256

PILKADA mestinya tanah yang baik. Partai kiranya pohon yang baik. Hasilnya ialah buah yang baik, kepala daerah yang amanah. Semua yang baik itu memerlukan syarat utama, yaitu segenggam kejujuran. Bukan segenggam berlian, sekotak emas-permata, segerobak uang tunai, bukan pula segunung batu akik. Dalam pandangan itu ada-tidaknya uang mahar untuk menjadi kandidat kepala daerah merupakan bagian tidak terpisahkan dari rangkaian tanah-pohon-buah yang baik atau buruk.

Siapa pun yang meminang dan dipinang, partai atau kandidat atau sebaliknya, agar baik hendaklah tanpa mahar duniawi. Apa pun bentuknya, entah segenggam berlian, sekotak emas permata, segerobak uang tunai, segunung batu akik, semua dienyahkan. Saya bukan pemeluk khusyuk. Izinkanlah pendosa ini berpandangan mahar terbaik ialah kitab suci, seperti pernikahan sakinah.

Bahkan kitab suci semua pemeluk agama serentak menjadi mahar dalam pilkada serentak di bawah keyakinan sila pertama Pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa. Kitab suci menyertai sumpah jabatan telah lama kehilangan daya magis dan daya teologis sekaligus. Derajatnya turun dari ritual menjadi seremonial, bahkan semata formal. Buktinya, kebanyakan yang masuk penjara karena korupsi ialah mereka yang telah disumpah jabatan sebagai penyelengara negara sesuai dengan perintah perundang-undangan.

Sumpah jabatan setelah kemenangan berbuah kedangkalan, kepalsuan, bahkan pengkhianatan. Mengapa tidak membaliknya? Selain bermaharkan kitab suci, juga bersumpah ketika pencalonan. Bayangkanlah partai pengusung menyumpah kandidat. Sumpah bercahayakan ilahi, jauh sebelum pertandingan pilkada dimulai tanpa mahar duniawi. Maaf, jika terkesan berkhotbah di zaman lebih penting roti daripada firman, lebih berharga menang dengan cara setan sekalipun. Beranikah partai pengusung melaksanakan sumpah itu?

Pertanyaan itu memang skeptis karena politik telah terbenam ‘bertuhankan’ uang. Sebagai gambaran, sebuah kursi partai pengusung di DPRD dikabarkan berharga Rp300 juta hingga Rp500 juta. Berapa harga hati rakyat? Alkisah di kala fajar menyingsing sedikitnya Rp100 ribu untuk satu suara. Entah berapa harganya di malam hari, menjelang esok pencoblosan. ‘Iman’ demokrasi senyatanya uang segar.

Itulah yang hendak dihabisi dengan langkah awal pencalonan kandidat kepala daerah tanpa uang mahar, bersumpahkan kitab suci. Akan tetapi, jalan menuju segenggam kejujuran masih teramat panjang. Yang segenggam itu masih bagaikan burung di udara, belum sepenuhnya di genggaman elite dan akar rumput. Bila akar rumput masih hidup Senin-Kamis, bisakah demokrasi tanpa serangan fajar?

Karena itu, mengangkat harkat hidup rakyat banyak jelas tugas kepala daerah yang amanah. Demokrasi tanpa kesejahteraan ialah kemenangan dan keangkuhan elite di atas pengorbanan rakyat sebagai pecundang. Akan tetapi, jangan diabaikan bahwa di kolong langit Tanah Air tidak tertutup kemungkinan adanya elite yang senang rakyat jelata terus melata dalam kepapaan karena itulah kondisi termudah untuk meraih suara rakyat dengan cara membeli.

Banyak memang yang senang hidup berkepanjangan dalam lingkaran setan jual beli demokrasi. Mesti ada yang memelopori memotongnya, menyembelih sang setan dimulai dari mahar. Dari sanalah bisa berharap pilkada ialah tanah yang baik, partai pohon yang baik, hasilnya ialah buah yang baik, kepala daerah yang amanah.

Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.