Saji-sajian

270

SIPUT bergerak lambat, tetapi pelayanan kementerian dan lembaga terkait di pelabuhan kiranya jauh lebih lamban. Bahkan dari sudut mentalitas kayaknya berat. Buktinya, di Pelabuhan Tanjung Priok mereka berani terang-terangan membohongi Presiden.

Di pelabuhan itu, menurut Direktur Utama PT Pelindo II RJ Lino, Presiden Jokowi disajikan sebuah sandiwara besar pelayanan satu pintu. Padahal pelayanan 18 kementerian dan lembaga terkait itu tidak pernah ada dalam kenyataan sehari-hari, tapi disulap tiba-tiba ada saat Presiden meninjau Pelabuhan Tanjung Priok. Dalam bahasa Presiden, “Yang disajikan kepada saya hanya saji-sajian.” Karena itu, Presiden Jokowi tidak kaget ada tersangka di Kementerian Perdagangan, bahkan di level direktur jenderal (Media Indonesia, 1/8/2015).

Saji-sajian kepada Presiden menunjukkan bukan hanya reformasi birokrasi di kementerian/lembaga terkait di pelabuhan mendesak dilakukan, lebih dari itu sepertinya juga perlu ‘cuci otak’ dan ‘cuci hati’ sekaligus.

Sebelum sampai ke sana, rasanya Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Yuddy Chrisnandi perlu berbenah atau malah dibenahi lebih dahulu. Sebab, terkesan di mata publik ia lebih banyak hilir mudik, inspeksi ke sana kemari bak hiperaktif atau caper (cari perhatian), antara lain mengunjungi rumah ibu angkat korban pembunuhan Engeline, Margrieth Christina Mergawe, di Denpasar, dengan akibat dipermalukan karena dilarang masuk oleh satpam.

Daripada hilir mudik tak fokus, lebih baik sang menteri berkantor saja siang-malam selama tiga bulan ini di Pelabuhan Tanjung Priok. Setelah sukses di Tanjung Priok, pindah berkantor di pelabuhan lain di Cirebon, Semarang, Surabaya, Medan, Makassar. Targetnya jelas, bukan hanya memangkas waktu bongkar-muat dari lima hari menjadi sehari, melainkan juga memperbaiki dimensi kunci logistics performance index (LPI).

Berdasarkan survei Bank Dunia 2014, dari 160 negara yang disurvei, LPI Indonesia peringkat ke-53, di bawah Vietnam (48), Thailand (35), Malaysia (25), Hong Kong (15), Jepang (10), Singapura (5). Di Asia, apa bangganya Indonesia lebih baik daripada Filipina (57)?

LPI menggunakan enam dimensi kunci. Pertama efisiensi, yaitu cepat dan sederhana proses persetujuan, antara lain kepabeanan. Kedua, kualitas infrastruktur, antara lain mutu teknologi informasi. Ketiga, kemudah-an mengatur pengiriman dengan biaya kompetitif. Keempat, kompetensi dan kualitas pelayanan logistik, antara lain mutu perusahaan pengurusan jasa kepabeanan (broker). Kelima, kemampuan melacak dan menelusuri pengiriman ke suatu negara. Keenam, ketepatan waktu berdasarkan waktu yang dijadwalkan.

Indeks diukur menggunakan skor 1-5, yaitu 1 untuk kinerja terburuk dan 5 terbaik. Hasilnya lima negara dengan LPI tertinggi; Jerman (4,12), Belanda (4,05), Belgia (4,04), Inggris (4,01), dan Singapura (4). Indonesia berada di papan tengah dengan skor 3,08 di bawah Vietnam (3,15), Thailand (3,43), dan Malaysia (3,59).

Dengan Menteri Yuddy berkantor di pelabuhan siang dan malam, fokus di situ, kita berharap dia habis-habisan berbuat setidaknya pada perkara besar birokrasi, yakni memangkas proses berbelit-belit, mengubah dokumen fisik menjadi digital, memperkecil sampel inspeksi fisik (cukup 2%) sehingga tidak ada lagi bau busuk mencari-cari kesalahan atau mempersulit yang mudah, serta menegakkan transparansi status kargo.

Dalam persaingan dunia yang keras dan kejam, sekadar diri sendiri menjadi lebih baik ketimbang sebelumnya tidak cukup karena negara lain berbenah lebih cepat dan lebih hebat. Hemat saya, jika dalam 2,5 tahun pembenahan oleh anak bangsa sendiri tidak membuat LPI Indonesia mencapai peringkat terbaik 20 dunia, baiklah dipikirkan kembali seperti di masa Pak Harto, yakni sempat menyerahkan urusan kepabaenan kepada pihak asing. Mengapa terkungkung xenofobia? Presiden, mintalah persetujuan DPR untuk ditenderkan kepada lima negara dengan LPI terbaik di dunia. Percayalah, semua bentuk saji-sajian bahkan sajen-sajenan bakal musnah dalam tempo cepat.

Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.