Impor Ilegal
PRESIDEN Jokowi cepat tanggap atas keluhan kalangan industri pertekstilan perihal impor ilegal. Ketika Senin (12/10) lalu membuka rapat terbatas mengenai perdagangan dan impor ilegal di Kantor Presiden, Jakarta, Jokowi rinci membeberkan kongkalikong yang dilakukan aparatur negara untuk meloloskan impor. “Untuk memudahkan transaksi yang ada, aparat meminta harga borongan per kontainer. Satu kontainer benang impor dikenai pungutan tidak resmi sekitar Rp120 juta, produk kain bisa sampai Rp150 juta, dan pakaian jadi sekitar Rp200 juta per kontainer. Elektronik tentu saja lebih mahal,” kata Jokowi seperti diberitakan Media Indonesia (13/10).
Sepekan sebelumnya (Rabu, 7/10), seusai bertemu Presiden, Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia Ade Sudrajat mengatakan akibat impor ilegal, dalam lima tahun, pangsa pasar industri tekstil di dalam negeri tinggal 30,9% dari 60% pada 2010. Bila dibiarkan, industri tekstil dalam negeri bisa gulung tikar. Demikianlah, negara harus berupaya agar pangsa pasar tekstil dalam negeri kembali dikuasai. Tekstil lokal menjadi tuan di rumah sendiri. Untuk itu, tidak bisa lain negara harus menghabisi impor ilegal. Bukan pernyataan baru, bukan pula tekad baru.
Akan tetapi, kenapa impor ilegal langgeng lestari? Harus diakui, tidak mudah menghabisi oknum Bea Cukai, penyalah guna wewenang, sekalipun mereka aparatur sipil. Sama sulitnya menghabisi oknum bersenjata, pelindung penyelundupan. Terlebih, kalau oknum sipil dan militer itu bekerja sama meloloskan impor ilegal, siapa bisa menghabisinya? Bukan hanya oknum penyalah guna wewenang menjadi persoalan besar bangsa ini.
Juga masalah besar, di negeri ini terlalu banyak pelabuhan, pintu masuk impor ilegal/penyelundupan. Diperkirakan, seluruhnya ada 141 pelabuhan. Contohnya, di Batam ada 46 pelabuhan, padahal hanya butuh dua pelabuhan ekspor-impor. Pernah terjadi di Batam, dalam setahun Bea Cukai menahan 170 kontainer yang gagal diselundupkan. Tujuh tahun silam, Menteri Keuangan Sri Mulyani mencanangkan penutupan pelabuhan ilegal, membatasi jumlah pelabuhan internasional, serta berencana membangun pelabuhan khusus untuk komoditas andalan seperti elektronik dan tekstil.
“Untuk mengamankan impor, saya minta komoditas tertentu disentralisasikan ke beberapa pelabuhan saja. Umpamanya, tekstil hanya bisa masuk ke beberapa port. Di luar itu kita tidak layani,” kata Sri Mulyani. Jika ada tekstil masuk ke pelabuhan lain, petugas Bea Cukai akan mengasumsikan kemungkinan ilegal. “Itu untuk menyederhanakan pengawasan kita.” Semua itu disampaikan Sri Mulyani seusai Rakornas Ditjen Bea Cukai bertema Antisipasi dampak krisis ekonomi global melalui peningkatan pelayanan dan pengawasan DJBC di Jakarta, Rabu, 22 Oktober 2008. Sejujurnya, saya tidak tahu, apakah semua gagasan itu telah diwujudkan. Namun, kiranya tidak mengada-ada menengarai, seperti gagasan bagus lain, biasanya menguap begitu saja seiring dengan bergantinya kekuasaan.
Hemat saya, ada baiknya Presiden Jokowi menimbang ulang gagasan itu dan mewujudkannya bila masih urgen dan relevan. Yang juga perlu ditilik ulang urgensi dan relevansi permintaan Asosiasi Perusahaan Jalur Prioritas (APJP) beberapa tahun lalu agar pemerintah memberi eksportir jalur prioritas di pelabuhan. Negara ini cenderung memberi kemudahan bagi importir seakan melupakan eksportir penghasil devisa. Bila importir diberi jalur prioritas, mengapa eksportir tidak? Daripada sibuk ‘mengepret’ Wakil Presiden Jusuf Kalla dan membongkar beton di Tanjung Priok, lebih baik Menko Maritim dan Sumber Daya Rizal Ramli fokus membantu Presiden Jokowi menjawab dan menyelesaikan semua perkara tersebut.
Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.