Tahun Derita Berlalu
TAHUN 2015 ialah tahun melambannya perekonomian. Pertumbuhan ekonomi terkoreksi. Nilai tukar rupiah melemah. Tahun lamban itu pada hari ini tutup buku. Menurut Bank Dunia, kebakaran hutan dan lahan turut memperlamban perekonomian Indonesia. Bencana itu melahap hutan dan lahan seluas 2,6 juta hektare, menelan biaya Rp221 triliun, lebih dua kali lipat biaya rehabilitasi Aceh akibat bencana tsunami. Bagi warga sejumlah provinsi di Sumatra dan Kalimantan, 2015 ialah tahun derita akibat bencana asap.
Selama Juli-Oktober 2015, total penderita infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) mencapai 556.945 jiwa. Perinciannya Riau (81.958), Jambi (151.839), Sumatra Selatan (115.484), Kalimantan Barat (46.672), Kalimantan Tengah (62.963), dan Kalimantan Selatan (98.029). Jumlah itu belum digabung dengan yang terserang penyakit lain. Di Provinsi Riau saja, 4.677 menderita iritasi mata, 5.899 iritasi kulit. Semua itu yang terdata di Dinas Kesehatan.
Belum lagi yang meninggal, terutama balita. Negara tidak tahu persis berapa jumlahnya. Kita prihatin dengan penderitaan warga. Kita pun prihatin, tidak mampu selekasnya mengatasi bencana asap, sampai perlu bantuan asing. Akan tetapi, derita rakyat itu malah hendak dikapitalisasi anggota DPR sebagai amunisi politik membentuk pansus asap. Bahkan, pimpinan DPR memimpin sidang mengenakan masker. Sungguh, perbuatan mengejek warga, yang memakai masker karena terpaksa, menderita terpapar asap berbulan-bulan.
Bukan mustahil bencana asap terulang kembali pada 2016. Karena itu, negara hendaknya mengantisipasi dan menganggarkan dana pencegahan, dan bila toh terjadi, telah pula dialokasikan dana perang melawan asap, baik dalam APBN maupun APBD provinsi/kabupaten/kota yang selalu terserang asap. Akan tetapi, kenapa hanya negara menanggung beban berat? Pemilik HPH/kebun sawit/lahan gambut yang terbakar harus pula turut bertanggung jawab memikul beban berat, bahkan seberat-beratnya.
Mereka layak dinilai lalai/abai/tak peduli/melakukan pembiaran aset mereka terbakar sehingga menimbulkan bencana asap. Karena itu, mereka harus dihukum denda seberat-beratnya. Tidak ada dasar hukumnya? Pemerintah dan DPR buatlah undang-undang dengan sanksi menjerakan sehingga pemilik hutan/kebun sawit/lahan gambut waspada mengawasi harta mereka. Lahan telantar terbakar sebaiknya disita negara untuk dikelola produktif BUMN perkebunan.
Begitu pula hutan berpapan nama, tetapi seperti tak bertuan. Bila dibiarkan terbakar, tidak peduli milik siapa pun, termasuk di bawah bendera/yayasan TNI, kenakan denda berat, bahkan kembalikan kepada negara. Agar tidak terjadi konflik kepentingan atau penggunaan kekuasaan untuk melindungi harta sendiri dari hukuman denda atau penyitaan, pejabat yang punya HPH/kebun sawit/lahan gambut harus membuat pernyataan terbuka sehingga tidak ada dusta di antara kita.
Bila harta pejabat itu terbakar, terlebih turut menimbulkan bencana asap, jelas siapa pemiliknya yang harus dikejar negara. Bahkan, pejabat itu dicopot saja dari kedudukannya. Bencana asap tak hanya menyiksa rakyat akibat penyakit yang ditimbulkannya. Bencana asap juga membuat mobilitas warga terganggu. Penerbangan tertunda, batal, bahkan terhenti tanpa kepastian jadwal. Sudah tentu, menyusahkan negara tetangga. Banyak persoalan dihadapi bangsa dan negara ini selama 2015. Namun, derita bencana asap paling lama mendera warga di Sumatra dan Kalimantan. Padahal, tak ada yang bisa menjamin bencana itu tidak terulang kembali. Karena itu, bencana asap diangkat sebagai pokok evaluasi dan refleksi penutup tahun.
Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.