Orang Baik
JOHAN Budi SP, mantan juru bicara KPK, mendapat sambutan istimewa di istana. Istimewa karena Presiden Jokowi sendiri dengan ceria,
dalam konferensi pers khusus, mengumumkan pengangkatan Johan sebagai
juru bicara presiden.
Kata Presiden, bertambah ‘orang baik’ bergabung di istana.
Orang baik itu bakal memikul tugas lebih berat ketimbang juru bicara presiden di era pemerintahan sebelumnya. Ia tidak saja bersuara perihal presiden,
mengomunikasikan program-program presiden, tetapi juga program-program
pemerintah kepada masyarakat.
Presiden mengatakan Johan akan mengoordinasikan humas-humas kementerian agar solid. Beban yang terpikul itu disebabkan Johan berpengalaman 12 tahun menjadi wartawan dan 10 tahun sebagai juru bicara KPK.
Jabatan juru bicara presiden lowong sejak Jokowi menjadi RI-1. Kendati tanpa juru bicara, komunikasi publik istana berjalan baik dan efektif karena Presiden terbuka kepada pers. Lagi pula para menteri, Kapolri, dan Jaksa Agung bebas berbicara kepada pers. Bahkan, ada menteri kebablasan sampai-sampai Presiden mengingatkan agar sesama menteri tidak berpolemik di media.
Istana tanpa juru bicara sepertinya bakal berlanjut. Terlebih dengan masuknya Pramono Anung ke istana sebagai sekretaris kabinet. Peran spokesperson itu sebagian diperankan politikus senior itu.
Presiden tak lagi melaksanakan tugas komunikasi publik sendiri.
Pramono, mantan Wakil Ketua DPR, berjam terbang
tinggi, berkepribadian luwes, tidak menghindar dari kejaran pers,
membuat pers kian dimudahkan. Karena itu, logis saja bila ada yang berpandangan istana tidak memerlukan juru bicara presiden.
Kenyataannya Presiden memerlukan juru bicara.
Jauh hari sebetulnya telah terdengar, juru bicara
yang diinginkan Presiden sosok seperti Johan Budi, yang memerankan tugas
juru bicara KPK, efektif dan simpatik.
Tidak saja pesan/substansi yang disampaikannya jelas,
tidak pula semata mudah diakses media, tetapi juga gayanya sederhana,
apa adanya.
Juru bicara KPK itu diapresiasi publik karena ‘tahu diri’, ‘tahu batas’.
Tak lebih, tak pula kurang. Bukankah ada juru bicara melebihi yang dijurubicarai?
Johan Budi tidak pernah berlakon, apalagi berlagak, sepertinya dialah Ketua KPK di hadapan media.
Bisalah dibayangkan betapa rusaknya persepsi atas
istana bila juru bicara presiden berlakon, beraksi, berlagak,
seakan-akan dialah presiden. Bahkan, lebih daripada presiden.
Bukan mengada-ada, di kolong langit ini, selalu saja ada orang diberi hati minta jantung.
Johan termasuk yang dinominasikan panitia seleksi untuk menjadi pimpinan KPK. Ia gugur di hadapan seleksi DPR.
Apa pasal?
Selain syarat formal bukan sarjana hukum, ia tegas menolak revisi UU KPK.
Ia berpendirian, berkarakter, tidak berkompromi demi jabatan. Akan tetapi, dunia karier tidak kiamat baginya. Istana membutuhkan dan memanggilnya.
Menurut Kepala Staf Presiden Teten Masduki, sejak awal Presiden sudah kesengsem kepada sosok Johan.
“Jadi, yang naksir (Johan Budi) Pak Presiden
langsung. Pak Presiden perintahkan saya untuk berkomunikasi dengan Johan
untuk kemungkinan bisa bantu Presiden,” kata Teten (Media Indonesia,
13/1).
Demikianlah, Presiden Jokowi tidak mendapatkan orang
seperti Johan Budi, tipe komunikator publik yang dicarinya, tetapi Johan
Budi itu sendiri.
Presiden mendapatkan yang asli, orisinal.
Apakah semua kalangan happy dengan pengangkatan Johan Budi?
Jawabnya tidak karena demikianlah adanya di dunia nan fana ini.
Kedudukan juru bicara tidak diatur undang-undang, terlebih diatur konstitusi, seperti kedudukan menteri.
Terhadap kedudukan menteri, orang tak perlu cawe-cawe, merecoki hak prerogatif presiden.
Apalagi untuk juru bicara presiden.
Biarlah Presiden memilih orang yang diinginkannya, sesuai kriteria dan versi yang ditegakkannya, yaitu ‘orang baik’.
Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.