Magnet Talenta

359

SEBUAH kabar bagus perihal Indonesia dilansir INSEAD, sekolah bisnis terkemuka Prancis. Isinya, Indonesia termasuk negeri magnet talenta baru ‎(new ‘talent magnet’) yang tengah bangkit.

Penilaian menggembirakan itu disampaikan dalam satu nafas ketika INSEAD mengumumkan Global Talent Competitiveness Index (GTCI) 2015-2016 di World Economic Forum (WEF), Davos, Switzerland, Selasa (19/1). Kali ini GTCI meliputi 109 negara, lebih banyak dari tahun sebelumnya (93 negara), mewakili 83,8% penduduk dunia serta 96,2% GDP dunia. Sebuah keteriwakilan yang signifikan.
Hasilnya, Switzerland merupakan magnet terhebat menarik talenta, disusul tempat kedua Singapura, dan tempat ketiga Luxembourg. Susunan itu tidak berubah dibanding tahun sebelumnya. Selebihnya yang masuk dalam 10 besar, berurutan ialah ‎AS, Denmark, Swedia, Inggris, Norwegia, Kanada, dan Finlandia.
AS, Singapura, dan Switzeland telah lama menjadi penarik talenta. Adapun persaingan ketat bakal terjadi antara Indonesia, Jordan, Chili, Korea Selatan, Rwanda, dan Azerbaijan, sebagai negara tujuan baru talenta.
Tema GTCI tahun ini mencari korelasi antara daya tarik talenta suatu negara dengan kesejahteraan ekonomi. Postulat yang dipakai ialah negara bermagnet kuatlah yang menarik orang-orang bertalenta, tenaga kerja berkeahlian. Dalam perspektif itu, mobilitas merupakan bahan/ramuan kunci perkembangan talenta. Talenta kreatif tidak dapat sepenuhnya berkembang, jika mobilitas international dan sirkulasi orang pintar (brain circulation) tidak didorong.
Singapura, misalnya, meraih posisi ke-2 tertinggi atas kemampuannya menarik talenta dan merawatnya berkat keterbukaan bisnis dan kualitas hidup yang tinggi. Akan tetapi, indikator toleransi terhadap kaum migran, kinerjanya relatif jelek. Namun Singapura dinilai masih memiliki ruang cukup luas untuk menjaring orang-orang berketerampilan kejuruan (vocational skills).
Sampai saat ini, Singapura satu-satunya negara ASEAN masuk dalam 10 besar. Tak selamanya posisi itu dapat dipertahankan. GTCI, yang dikerjakan INSEAD bekerja sama dengan Adecco Group dan Human Capital Leadership Institute of Singapore, menilai bahwa Singapura akan menghadapi persaingan keras bila mobilitas talenta berjalan penuh dalam Masyarakat Ekonomi ASEAN (AEC). Persaingan itu berasal dari Indonesia, Filipina, dan Vietnam. Dua negara terakhir disebut telah mulai menarik investor international berkat kemampuannya memikat talenta kreatif dengan ongkos masuk akal.
Negara berkembang langka keahlian kejuruan, dalam kompetisi bebas, dapat diisi talenta dari berbagai penjuru dunia. ‎Dalam konteks regional, pemberlakuan Masyarakat Ekonomi ASEAN pada akhir 2015, membuat Indonesia menjadi terbuka bagi mobilitas orang-orang berkeahlian khusus dan mobilitas orang-orang pintar dari negara ASEAN lainnya. Profesi atau pekerjaan yang kemarin tertutup untuk tenaga asing, kini terbuka lebar. Demikian pula sebaliknya, anak bangsa yang talentanya mampu bersaing dapat bermigrasi ke negara lain.
Daya saing talenta anak bangsa sendiri yang dihasilkan suatu negara, kemampuannya ‎menjadi magnet untuk menarik talenta dari negara lain, menjadi salah satu faktor pemacu pertumbuhan dan membaiknya kesejahteraan. Kenapa takut? Talenta ASEAN yang ingin masuk ke Indonesia dapat disyaratkan harus mampu berbahasa Indonesia. Sebaliknya, kita pun harus pula bisa menyiapkan talenta-talenta bukan saja bagus berbahasa Inggris, tetapi juga misalnya berbahasa Tagalog untuk pasar Filipina atau berbahasa Vietnamese (Austroasiatic language), untuk Vietnam. Kehidupan ini akhirnya bebas bersaing berazaskan reciprocal, timbal balik.
‎Meningkatnya magnet Indonesia untuk menarik talenta dalam kompetisi global, sebaiknya dipandang sebagai peluang, bukan ancaman. Itulah sebabnya, penilaian yang dilansir INSEAD merupakan kabar bagus. Bukankah jago kandang tunggu waktu saja babak belur? Mana ada talenta global tumbuh berkembang di bawah tempurung.

 

Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.