Mengembalikan Uang

356

SELINTAS senang hati membaca berita koruptor mengembalikan uang kepada KPK.

Terlebih bila jumlahnya menggiurkan.

Yang dikembalikan saja segitu besar, berapa pula yang diembat?

Karena ‘gembrot’, rupiah agaknya tidak ‘luwes’ dipakai transaksional.

Mata uang AS dan Singapura paling laris digunakan.

Dalam kedua mata uang itulah hasil korupsi diraup, dan dalam kedua mata uang itulah pula sebagian uang korupsi dikembalikan kepada KPK.

Fisiknya lebih ‘ramping’.

Sebagai gambaran, uang Rp2,3 miliar, yaitu 23 ribu lembar pecahan Rp100 ribu, nilainya setara S$240 ribu, yaitu ‘hanya’ 24 lembar saja pecahan S$10 ribu.

Itulah total uang yang terakhir dikembalikan Damayanti, anggota Komisi V DPR dari PDIP, yang menjadi tersangka kasus dugaan suap proyek pembangunan jalan di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat.

‘Lucu’ juga kalau sampai BI mengeluarkan peraturan agar korupsi dilakukan dalam rupiah.

Seandainya pun rupiah jadi diredenominasi, banyak angka nol dibuang sehingga rupiah menjadi ramping, kiranya rupiah tetap tidak dipakai sebagai transaksi korupsi.

Kenapa?

Jika pun terjadi keanehan –koruptor punya rasa nasionalisme– tentu bukan karena tak ingin nasionalisme tercemar rupiah tidak digunakan, tapi semata korupsi perlu keringkasan bertransaksi.

Lagi pula agar korupsi bergengsi, pakai valas, dong.

Selain itu, kabarnya koruptor percaya bahwa nomor seri rupiah lebih mudah dilacak jika dibandingkan dengan valas.

Setelah tertangkap basah KPK, kiranya tinggal satu pengharapan koruptor, yaitu kelak dihukum seringan-ringannya.

Salah satu yang dilakukan ialah mengembalikan uang korupsi.

Akan tetapi, para hakim rasanya perlu meninjau ulang, di tengah tetap ganasnya korupsi di negeri ini, apakah pengembalian uang ke KPK masih layak dipertimbangkan sebagai faktor meringankan hukuman.

Seorang justice collaborator didefinisikan oleh Mahkamah Agung sebagai pelaku yang menjadi saksi yang kooperatif membongkar perkara, termasuk mengembalikan aset hasil korupsi yang dimilikinya, tapi bukan pelaku utama.

Ketentuan ‘bukan pelaku utama’ itu perlu digarisbawahi, khususnya menyangkut korupsi bersama-sama yang dilakukan berbasiskan otoritas setara, seperti anggota DPR.

Mereka itu semua pelaku utama.

Contohnya, korupsi kolektif mayoritas anggota DPR dalam satu komisi seperti terjadi di Komisi V, semuanya layak dipandang pelaku utama.

Dalam perkara penggunaan hak bujet yang dimiliki anggota DPR, diasumsikan di situ tidak ada anggota DPR berperan sebagai pembantu pelaku utama.

Sekali lagi, semuanya pelaku utama yang setara.

Singkatnya, tidak seorang pun dari mereka tergolong justice collaborator, sekalipun ada di antara mereka memberikan keterangan dan bukti-bukti yang sangat berarti sehingga penyidik KPK dapat mengungkap kasus korupsi dengan cepat, mungkas, dan tuntas.

Dalam pandangan itu, mengembalikan uang ke KPK sebanyak-banyaknya sekalipun, kiranya bukan alasan untuk meringankan hukuman.

Bahkan, sebaliknya, makin banyak uang yang dikembalikan makin membuktikan betapa ganasnya sang koruptor mencuri uang negara.

Hukuman penjara terberat malah layak diberikan.

Asetnya disita untuk negara, bukan dengan modus pengembalian.

Karena itu, saya pribadi hanya selintas senang membaca berita koruptor mengembalikan uang ke KPK karena itu cuma modus untuk meringankan hukuman.

Memperlakukan semua tersangka sebagai pelaku utama dalam perkara korupsi bareng-bareng yang dilakukan anggota DPR, tentu membuat KPK harus bekerja lebih keras membongkar perkara.

Sebab, tidak laku lagi iming-iming menjadi justice collaborator dengan ‘hadiah’ keringanan hukuman.

 

Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.