Big Data atau Big Mouth
BIG data perihal suara publik bikin berisik. Isinya, katanya, 110 juta warganet mendukung penundaan Pemilu 2024.
Data itu luar biasa ‘big’, luar biasa ‘besar’. Dia melampaui daftar pemilih tetap 100.359.152 yang diterbitkan KPU pada 8 Desember 2020 pukul 07.47.51 AM. Sedemikian besar big data itu, sampai sulit dipercaya. Terkesan big data itu lebih merupakan big mouth, mulut besar.
Big data itu dipersoalkan orang dari enam sudut pandang. Yang pertama metodologinya. Ada pakar yang secara keilmuan mumpuni dan jam terbang dalam hal survei layak dipercaya menantang kesahihannya.
Gayung belum bersambut. Yang ditantang belum keluar entah dari ‘ruang’ komputernya, atau cyber-nya, atau malah persembunyiannya. Sampai kapan? Mungkin tak pernah terlihat metodologinya, sampai pikiran menunda pemilu lenyap dengan sendirinya karena tak laku.
Sudut pandang kedua menyoal kedudukan menteri yang menyuarakan penundaan pemilu. Yang bicara menko investasi, bukan menko polhukam. Dia dinilai melampaui otoritasnya.
Sudut pandang ketiga, perihal pernyataan retorik, ‘apa alasan Pak Jokowi turun?’ Ada yang menjawab santun, “Bukan ‘turun’, Pak. Tapi selesai masa jabatannya.”
Ada yang tegas mengutip konstitusi. Pemilu diselenggarakan 5 tahun sekali. Bukan 6 atau 7 tahun sekali. Bahkan, ada yang bilang tidak ada satu pun badan yang dapat menunda pemilu.
Sudut pandang keempat perihal pemilu yang memakan biaya besar. Padahal, kita sedang menghadapi masalah pandemi. Pernyataan ini mengundang jawaban keras. Untuk membangun ibu kota negara baru yang memakan biaya besar tersedia anggarannya. Kok bisa? Pemilu itu perintah konstitusi. IKN itu program Presiden. Program Presiden dapat dihentikan, tidak mematuhi perintah konstitusi presiden dapat dimakzulkan.
Sudut pandang kelima mengenai kebebasan berpendapat. Ini era demokrasi. Orang bebas berbicara, termasuk mengenai penundaan pemilu. Bukankah orang juga bebas berbicara agar pembangunan IKN ditunda?
Bila orang dapat berbicara amendemen konstitusi, tentu terlebih lagi orang dapat berbicara mengamendemen UU IKN yang relatif lebih mudah daripada mengamendemen UUD 1945. Kenapa marah-marah terhadap gagasan penundaan pemilu? Itu dilontarkan penggagas penundaan pemilu. Kiranya sama persis, tak usahlah marah-marah terhadap yang bergagasan tunda saja IKN.
Sudut pandang keenam legacy Jokowi. IKN ialah puncak warisan Jokowi. Di dalam perkara ini jangan sampai Jokowi mengidap legacy mania. Itu tidak sehat. Semua gubernur telah membawa tanah dan air dari tempat masing-masing, disatukan di IKN Nusantara. Sebuah simbol persatuan dan kesatuan. Setelah ritual-spiritual itu, apakah Jokowi khawatir sampai 20 Oktober 2024, ketika masa jabatannya berakhir, ibu kota negara Nusantara itu belum mewujud seperti yang diimpikannya? Begitu khawatirnyakah sampai perlu perpanjangan masa jabatan presiden dengan cara menunda pemilu?
Entahlah. Dalamnya laut dapat diukur, dalamnya hati Jokowi dalam perkara ini, publik tidak tahu. Sangat berbeda sikapnya ketika menjawab masa jabatan tiga kali. Katanya, “Satu ingin menampar muka saya. Yang kedua ingin cari muka. Padahal, saya sudah punya muka. Yang ketiga ingin menjerumuskan. Itu saja.”
Jawaban itu kiranya juga dapat digunakan Jokowi untuk menolak gagasan menunda pemilu. “Penggagas ingin menampar muka saya. Penggagas mencari muka. Penggagas ingin menjerumuskan saya.” Namun, yang terjadi Jokowi menjawab normatif. Katanya, dia patuh konstitusi. Timbul tafsir, kalau konstitusi diubah, pemilu ditunda, masa jabatan presiden dapat diperpanjang, Jokowi pun mematuhi konstitusi yang telah diubah itu. Bahkan, ditengarai dia suka itu. Berbeda halnya bila konstitusi diubah, presiden dapat menjabat tiga periode. Masuk akal Jokowi tak suka itu. Kenapa? Jabatan diperpanjang, Jokowi tetap presiden tanpa perlu bertarung dalam pilpres. Untuk duduk tiga periode, harus bersaing keras. Seru. SBY dan atau JK pun bahkan dapat dicalonkan kembali menjadi capres dan atau cawapres. Siapa menjamin Jokowi menang pilpres setelah kelangkaan minyak goreng tak dapat segera diatasi oleh pemerintah? Suara miring macam ini tak elok dinafikan.
Kiranya ada saja yang membayangkan suatu hari IKN menjadi kota yang terkesan mangkrak. Perkara yang tak diinginkan terjadi. Akan tetapi, siapa larang orang punya bayangan itu? Rasanya kota itu perlu diperkuat dengan berbagai daya tarik yang hebat. Barangkali ada baiknya melirik Canberra dengan perguruan tingginya seperti ANU. Bangunlah di IKN itu sebuah universitas bermutu, khusus untuk pascasarjana. Berilah fasilitas dan insentif bagus bagi dosen-dosen muda yang mau mengabdi di sana. Selain pusat pemerintahan, buatlah ibu kota negara yang baru itu juga sebagai pusat pemikiran. Menunda pemilu bukan solusi. Itu menciptakan masalah. Big data itu simpan saja di ponsel pintar penggagas dan baiklah berhenti menjadikannya big mouth.