Asasinasi Politik
TERUS terang hingga detik ini saya sulit memahami bahwa pilpres yang demokratis menyimpan hasrat pembunuhan. Saya kiranya terlalu naif.
Pilpres ajang kontestasi dan kompetisi terbuka untuk memenangkan hati warga yang punya hak suara. Pembunuhan rencana tertutup untuk menghabisi nyawa. Di mana kiranya dua perkara itu bertemu?
Warga datang ke TPS membawa pilihan yang akan dicoblos. Untuk itu warga merdeka, tidak ada paksaan yang bikin orang marah lalu berniat membunuh.
Karena itu tidak pernah terbayangkan bakal ada rencana pembunuhan beberapa orang penting di negeri ini demi tujuan politik, demi kemenangan salah satu capres.
Menurut polisi, tersangka utama ialah purnawirawan berpangkat jenderal. Untuk sampai ke pangkat itu sang prajurit bukan saja melewati berbagai penugasan dan ekspose sebagai tour of duty, tetapi terbentuk dan tertempa jiwa kesatria.
Tentara dilatih untuk bertempur. Di medan tempur, pilihannya hidup atau mati, membunuh atau dibunuh. Keberanian mempertaruhkan nyawa demi membela negara itu diekspresikan antara lain dalam prinsip ‘esa hilang, dua terbilang’.
Akan tetapi, semua kehebatan bertempur, membunuh, atau dibunuh itu tidak dipakai dalam damai, dalam supremasi sipil yang salah satu puncaknya ialah rakyat menggunakan hak konstitusinya untuk memilih presiden yang dipercaya dapat menjadikan Indonesia lebih baik 5 tahun ke depan.
Asasinasi politik bukan perkara baru dalam sejarah peradaban manusia. Yang paling menonjol di masa sebelum masehi asasinasi Julius Caesar (44 SM), yang menonjol di masa modern asasinasi John F Kennedy (1963).
Yang dibunuh umumnya kepala negara atau kepala pemerintahan. Terhadap Bung Karno beberapa kali ada yang ingin membunuhnya, namun gagal.
Rencana asasinasi berkaitan Pilpres 2019 digagalkan polisi. Kata polisi, sasaran rencana asasinasi itu ialah tiga pejabat negara, bukan kepala negara. Bahkan, termasuk rencana pembunuhan seorang sipil pimpinan sebuah lembaga survei yang antara lain melakukan hitung cepat.
Studi menunjukkan asasinasi dilakukan pribadi yang jiwanya tidak stabil. Bahkan, makin hebat mengidap delusi, makin tinggi keberhasilannya.
Delusi atau bukan yang diduga diidap tersangka biarlah domain psikiatri. Urusan polisi ialah menuntaskannya sampai ke pengadilan dan biarlah hakim yang bebas dan merdeka memutus apakah mereka bersalah atau tidak.
Yang jelas kasus rencana asasinasi itu menunjukkan demokrasi kita memang dalam stagnasi, bahkan menyimpan krisis dan mesiu yang ‘siap’ meledak entah kapan.
Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.