Saat Kita Bangun

339

KEPEMIMPINAN pada akhirnya sebuah pilihan. Bukan jabatan. Itulah antara lain kesimpulan Stephen R Covey. Kepemimpinan bukan pula kekuasaan. Kepemimpinan ialah seni untuk memberdayakan.

Semua itu kiranya cukup untuk melukiskan kepemimpinan di banyak organisasi, tetapi tidak cukup untuk melukiskan kepemimpinan organisasi yang bernama negara. Terlebih negara multimajemuk seperti NKRI.

Ada nasihat yang bilang kita hanya bisa memahami tidur saat kita bangun, bukan pada saat kita tidur. Hemat saya, inilah nasihat yang kian perlu dicamkan dalam memilih pemimpin.

Salah satu pertanda tidur ialah mata terpejam, tidak melihat. Dalam memilih pemimpin orang perlu melihat sedemikian rupa sehingga semua kebaikan atau keburukannya tampak nyata. Untuk itu, orang harus bangun.

Hanya dalam keadaan bangun daya kritis hadir. Kenyataannya dalam melek sekalipun banyak yang tidak kritis. Saya kira itulah yang terjadi ketika sebagian dari kita mempercayai hoaks, berita bohong.

Percaya berita bohong petunjuk bahwa kita belum bangun yang semelek-meleknya. Padahal, kita hanya bisa memahami tidur saat kita bangun, semelek-meleknya, bukan saat kita tidur, terlebih tidur selelap-lelapnya.

Debat capres mungkin bikin orang bangun. Setelah nonton debat keempat pilpres, harian ini kemarin menurunkan kepala berita berjudul ‘Rasional vs Emosional’. Sebuah judul yang mengajak publik bangun, semelek-meleknya, sesadar-sadarnya, siapa calon presiden terbaik untuk NKRI.

Kita tidak butuh pemimpin yang emosional. Yang gampang marah. Kita butuh pemimpin yang mampu memberdayakan, mampu pula mengendalikan diri.

Negara ini tidak butuh pemimpin ekstrem di sisi sebelah mana pun. Kita pun tidak perlu pemimpin yang berada di pinggir-pinggir. Kita butuh dan perlu pemimpin di tengah.

Kita pun tidak butuh pemimpin yang narasi besarnya tentang bangsa dan negara ini semuanya jelek, semuanya negatif. Inilah pemimpin yang hanya punya penglihatan untuk sebuah sisi, yaitu sisi buruk bangsa dan negara ini.

Tiap negara tentu ada sisi buruknya. Tidak ada negara yang sempurna. Akan tetapi, memburuk-burukkan negara sendiri tidak pantas disuarakan seorang pemimpin.

Negara ini butuh dan perlu pemimpin yang punya kecerdasan ke masa depan, bukan ke masa lalu. Yang berani bertarung berhadapan dengan bangsa-bangsa lain dalam kemajuan teknologi, bukan malah memilih teknologi kuno ketimbang kekayaan RI lari ke luar negeri.

Kekayaan kita tidak boleh lari ke luar negeri, tetapi kita pun tidak boleh mundur ke belakang. Kita tidak butuh pemimpin yang xenofobia lalu mengurung diri ke zaman batu.

Kepemimpinan pada akhirnya sebuah pilihan. Bukan jabatan. Bukan kekuasaan. Bukan untuk memperkaya diri sendiri. Agar tidak salah pilih, izinkan saya mengutip kembali nasihat yang bilang kita hanya bisa memahami tidur saat kita bangun, bukan pada saat kita tidur. Pada 17 April 2019, bangunlah semelek-meleknya.

Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.