Menjual Integritas

351

AKAR korupsi kiranya tertanam-dalam pada diri yang tidak mengenal kata cukup dan patut menyangkut harta. Salah satu wujudnya ialah harta yang diperoleh karena takhta.

Hubungan itu dapat dibalik, yang tertanam-dalam pada diri bukan harta, melainkan takhta. Untuk mendapatkan dan mempertahankan takhta diperlukan harta.

Bukan sembarang harta, bergerak atau tidak bergerak, tapi harta likuid. Itu demi politik uang. Karena itu salah satu yang menarik perhatian publik ketika orang tertangkap basah KPK ialah banyaknya uang yang ikut tertangkap tangan. Ketika Ketua Umum PPP Romahurmuziy ditangkap KPK, uang yang disita Rp156.758.000. Sopir yang membawa kami di Jawa Tengah berkomentar, “Orang sekelas ketua partai uang segitu ditelateni.”

Modus korupsi bukan makan uang yang berkaitan dengan anggaran proyek. Namun, uang suap urusan seleksi jabatan di Kementerian Agama.

Uang memang keperluan duniawi. Uang tidak beragama. Sekalipun punya negara, uang sesungguhnya tidak kenal nasionalisme, terlebih di saku koruptor.

Realitas pahit ialah cash is king berlaku sangat deras dalam politik Indonesia. Elite politik paham benar makna uang dalam pemilu. Makna cash is king juga kian merasuk ke tingkat warga yang punya hak pilih sehingga terciptalah hubungan uang yang sangat rasional dan realistik, yaitu cash and carry, tanpa pelayanan purnajual.

Tanpa pelayanan purnajual dalam arti yang paling brutal. Setelah orang terpiih, tidak ada ikatan selain ketemu kembali pada pemilu mendatang dengan pola yang sama, cash is king, dan hubungan dengan konstituen terulang cash and carry tanpa pelayanan purnajual.

Dalam hal uang kiranya perlu pengakuan yang jujur bahwa demokrasi kita demokrasi jual beli. Habis perkara. Partai sebagai salah satu pilar utama demokrasi ialah institusi kepublikan yang makan ongkos sangat mahal bahkan sejak partai dilahirkan di era demokrasi ini. Terlebih untuk membesarkannya melalui pemilu yang berwatak cash is king serta cash and carry, tanpa pelayanan purna jual.

Apakah ada yang aneh dengan kenyataan sebanyak lima ketua umum partai ditangkap KPK? Mereka ialah Romahurmuziy/PPP, Anas Urbaningrum/Partai Demokrat, Luthfi Hassan Ishaaq/PKS, Suryadharma Ali/PPP, dan Setya Novanto/Golkar.

Korupsi layak dicurigai enak. Kenapa? Ternyata banyak yang suka.

Pernyataan bahwa korupsi enak muncul di benak begitu saja ketika mendengar berita Romahurmuziy ditangkap KPK. Bukankah sebelumnya telah begitu banyak yang ditangkap KPK? Kok, tidak takut? Jawabnya mungkin korupsi itu enak banget sehingga mengalahkan rasa takut ditangkap KPK.

Kasus itu semakin menunjukkan kecenderungan elite politik negeri ini lebih memilih status daripada integritas. Lebih buruk lagi menjual integritas demi status.

Seseorang sampai pada kedudukan ketua umum partai seyogianya bukan lagi jenis pribadi pemburu status, apalagi pecinta uang dengan segala cara. Dia pribadi yang integritasnya teruji dan mumpuni, contoh yang hidup di ranah kepublikan.

Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.