Meninggalkan Stasiun Stagnasi
KIRANYA kita tidak boleh berbusung dada perihal mutu demokrasi kita.
Republik ini merupakan negara demokratis terbesar berpenduduk muslim terbesar di dunia.
Pilpres 2019 jelas menjadi ujian tersendiri bagi mutu demokrasi kita.
Suatu studi tentang demokrasi gelombang ketiga menggolongkan demokrasi kita dalam keadaan stagnasi.
Demokrasi gelombang ketiga didefinisikan sebagai demokrasi yang tegak 1974 hingga 2012. Dalam pengertian itu terdapat 91 negara yang tergolong demokrasi.
Keadaan stagnasi ialah level demokrasi yang berkepanjangan dalam transisi. Studi yang dilakukan terhadap 91 negara itu sedikit menghibur, kita tidak sendirian mengalami stagnasi demokrasi.
Ada 28 dari 91 negara yang demokrasinya digolongkan stagnasi.
Hati kita lebih terhibur lagi karena demokrasi kita tidak ambruk seperti dialami 34 dari 91 negara.
Yang mengejutkan hanya dua negara, yaitu Ekuador dan Polandia, yang demokrasinya dikategorikan mengalami erosi.
Akan tetapi, sepatutnya kita gusar karena setelah 20 tahun berdemokrasi, negara kita tidak termasuk negara yang demokrasinya tergolong ‘advance’.
Hanya 23 dari 91 negara yang demokrasinya dikategorikan ‘maju’.
Yang perlu juga dilihat bahwa hanya dua dari 91 negara yang digolongkan sebagai negara yang demokrasinya tererosi. Kedua negara itu ialah Ekuador dan Polandia.
Semua itu hasil ‘pemeriksaan kesehatan demokrasi’ gelombang ketiga yang dilakukan Prof Scott Mainwaring (Harvard Kennedy School) dan kandidat doktor Fernando Bizzarro (Harvard University) pada 2017.
Hasilnya dipublikasikan di Journal of Democracy terbaru (Januari 2019).
Demokrasi ambruk (breakdowns) terjadi karena dua sebab. Pertama, terjadi kudeta militer seperti dialami Mali (2012).
Keambrukan demokrasi paling umum terjadi tidak secara mendadak karena kudeta, tetapi secara inkremental mencapai titik kehancuran demokrasi. Ini misalnya terjadi di Turki.
Demokrasi mengalami erosi terjadi di negara dengan sistem multipartai.
Pemilihan umum kompetitif, tetapi substansi demokrasi liberal tergerus. Seperti telah disebut, erosi demokrasi itu hanya terjadi di dua negara Ekuador dan Polandia.
Demokrasi di suatu negara disebut stagnasi bila sejak menjadi negara demokratis pada 1974, tapi pada 2017 level demokrasi negara itu tetap keadaannya seperti tahun awal demokrasi.
Negara itu tidak mencapai kemajuan ataupun kemunduran dalam masa transisi sampai 2017. Demokrasi kita digolongkan stagnasi antara lain sama seperti Argentina, Filipina, dan juga India.
Negara yang demokrasinya dinilai maju meliputi 23 negara di enam benua, antara lain Korea Selatan, Brasil, Guatemala, Meksiko, Spanyol, Portugal, dan Senegal.
Inilah negara-negara yang telah melampaui masa transisi dan mencapai mutu demokrasi melalui jalan yang elok.
Kiranya kita tidak ingin demokrasi kita terpukul mundur gara-gara Pemilihan Presiden 2019.
Menurut sang peneliti, status stagnasi yang panjang di satu pihak dapat berarti negara itu mampu memelihara keseimbangan yang stabil.
Akan tetapi, di lain pihak status stagnasi juga bisa menjadi ‘stasiun’ dalam perjalanan menuju keambrukan.
Pilpres ini seyogianya menjadi stasiun terakhir di masa transisi berkat kita berkemampuan memilih presiden terbaik dalam semangat bersatu kendati berbeda pilihan. Demokrasi kita bergerak maju meninggalkan stasiun stagnasi.
Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.