Pemimpin Kepala Batu
ADA pertanda kepala daerah berkecenderungan gagal menjadikan dirinya pemimpin. Harap jangan kaget dengan pernyataan itu. Berkedudukan sebagai kepala (daerah), tapi senyatanya mereka belum atau tidak berada di level pemimpin.
Mungkin lebih parah lagi. Sejumlah kepala daerah belum menemukan dirinya sendiri. Sang diri masih dalam pencarian. Di dadanya bergelantungan simbol kepala daerah, tetapi itulah dada yang hampa, kosong melompong. Bandingkan dengan, “Ini dadaku, mana dadamu,” pekik pejuang kemerdekaan.
Ekspresi keteguhan jiwa yang berkarakter. Pekik kebanyakan kepala daerah sekarang kepada DPRD ialah, “Ini kantongku, mana kantongmu.” Begitu pula sebaliknya pekik anggota DPRD, “Isilah kantongku dari kantongmu.”
Eksekutif punya lebih banyak kekuasaan. Karena itu, layak ditengarai arus kas mengalir dari kantong eksekutif ke kantong legislatif. Arus kas itu bahkan dipaksa untuk dialirkan. Celaka tiga belas kepala daerah memberinya dan ditangkap KPK.
Kepala daerah bekerja di level yang tinggi untuk daerah kekuasaannya. Di ketinggian itu ia seyogianya punya keyakinan diri. Terutama bukan keyakinan diri untuk mengatakan ya, tapi hemat saya, justru keyakinan diri untuk mengatakan tidak.
Kepala daerah melakukan korupsi ketuk palu ditangkap KPK gara-gara menyogok anggota DPRD agar anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) disahkan, kiranya perlu dilihat dari sisi keteguhan jiwa sang kepala daerah yang tidak mampu mengatakan tidak kepada DPRD yang bermental transaksional.
Berani berkata tidak kepada legislatif dalam urusan ketuk palu tentu hanya dilakukan kepala daerah yang berkualitas sebagai pemimpin. Siapa mereka? Antara lain sosok yang punya keyakinan pribadi dan sadar berada di kedudukan yang berisiko tinggi menghadapi lingkungan legislatif yang lebih bermusuhan karena korup.
Pertanyaannya, bukankah itu pilihan terhormat ketimbang diturunkan di tengah jalan oleh KPK gara-gara korupsi ketuk palu agar RAPBD disahkan?
Bapak bangsa yang membuat UUD 1945 sesungguhnya telah menegakkan kerangka acuan yang mantap. Jika anggaran tidak disetujui, pakai anggaran tahun lalu. Konstitusi menjamin jalan keluar itu, jalan yang lebih bijak daripada anggaran baru yang bertambah besar tapi disahkan dengan korupsi ketuk palu.
Pemerintah menggunakan anggaran tahun lalu jelas seperti menyetir pemerintahan yang berjalan di tempat. Kepala daerah sebagai pemimpin dituntut berkemampuan menjelaskan posisi yang diambilnya kepada publik, bahwa ia memilih memimpin pemerintahan yang bersih dengan anggaran tahun lalu daripada takluk terhadap legislatif yang untuk mengetukkan palunya harus disuap.
Saya kira pilihan sikap kepala daerah yang berkarakter pemimpin itu dapat mempercepat kesadaran rakyat untuk dalam pemilu mengenyahkan wakil-wakil rakyat yang transaksional. Jika pertarungan pengesahan anggaran selalu mentok dan sang pemimpin kembali bersandar pada konstitusi, yakni menggunakan anggaran tahun lalu, bukan mustahil praktik korupsi ketuk palu bakal mati dengan sendirinya.
Kayaknya kita perlu sebuah model kepala daerah yang berkepala batu dalam menghadapi korupsi ketuk palu.
Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.