Kriteria Calon Wakil Presiden

296

SAMBIL berolahraga pagi di Kebun Raya Bogor, Sabtu (24/3) pagi, Presiden Jokowi diberitakan membahas kriteria calon wakil presiden dengan Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto yang juga Menteri Perindustrian dalam pemerintahan Jokowi.

Sekali lagi yang dibicarakan kriteria calon wakil presiden, bukan sosoknya, bukan siapa orangnya.

Namun, karena perbincangannya empat mata, sebetulnya bukan pula soal bila perbincangan antara capres dan ketua umum partai pengusung capres langsung membahas siapakah saja orang yang pas untuk menjadi cawapres.

Tentu saja sambil berolahraga biar sehat, kiranya lebih rileks dan cepat mendapatkan kesepahaman hati dan pikiran bila keduanya berbincang perihal kriteria ketimbang sosok.

Membahas kriteria membuat orang cenderung objektif, sebaliknya membahas sosok membuat orang dapat terbawa ke dalam suasana kebatinan suka atau tidak suka.

Perbincangan perihal kriteria tentu saja perbincangan pada level pemanasan.
Sejauh menyangkut perkara-perkara besar dan mendasar, seperti NKRI, Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, tentulah sudah final.

Bagaimana dengan urusan besar yang harus dicapai di 2019-2024?

Pertanyaan itu menyangkut visi-misi capres Jokowi dalam pilpres nanti, yang di sana-sini tidak lagi sama dengan Nawa Cita yang telah dikerjakan Presiden Jokowi selama 2014-2019.

Menemukan pokok jawaban atas pertanyaan itu kiranya merupakan salah satu jalan untuk sampai pada kriteria cawapres yang bakal mendampingi Jokowi.

Akan tetapi, itu jalan yang tergolong absurd untuk dibahas dengan ketua umum partai yang paling teknokratis sekalipun.

Pilpres ialah menang atau kalah, yang tidak ditentukan canggih atau kampungannya visi dan misi.

Karena itu, faktor pembawa benefit elektabilitas masuk kriteria.

Siapa yang menentukan?

Siapa pun yang waras kiranya bersepakat bahwa pada waktunya diserahkan kepada lembaga survei yang tepercaya untuk mengukurnya.

Titiplah beberapa nama dan biarkan lembaga itu juga memenuhi sekeranjang nama cawapres untuk disurvei.

Sebuah jalan metodologis yang sedikit atau banyak membantu pengambilan keputusan kelak, pada waktunya.

Apakah seorang wapres perlu dibayangkan menjadi suksesor?

Bukankah Jokowi selesai paripurna 2024? Siapakah sang penerus?

Tidakkah perlu sekalian dipersiapkan presiden pasca-Jokowi?

Hemat saya, semua pertanyaan itu sangat bijak untuk disimpan saja di lubuk hati terdalam ketua umum partai pengusung Jokowi.

Kenapa? Itulah kriteria yang bikin semua pikiran sehat dan hati bersih bisa teracuni oleh obsesi dan kekeliruan membaca aspirasi publik di masa depan.

Bila para pemimpin tidak mampu menyimpannya dalam-dalam, lupakan saja kriteria yang satu ini. Kenapa?

Terus terang jangan cari cawapres yang berambisi menjadi presiden. Berbahaya.

Ini malah salah satu kriteria penting.

Apalagi seperti dipersiapkan menjadi putra mahkota kayak Republik ini kerajaan milik nenek moyangnya.

Cawapres yang demikian bakal lebih banyak mematut-matut diri seraya berlagak dialah presidennya, Jokowi wakilnya.

Sebuah tes psikologi yang sahih kiranya perlu dilakukan untuk menemukan siapakah cawapres yang demikian itu dan hasilnya perlu dibawa ke ruang publik. Orang macam itu diperam saja dulu atau biarkan matang di pohon.

Akhirnya, kriteria terpokok ialah capres Jokowi merasa paling cocok, merasa paling pas dengan sosok itu.

Siapa orangnya, serahkan pada capres.
Kiranya itulah yang sedang berproses, mengkristal di dalam hati dan pikiran Jokowi, sang petahana, dan kiranya itulah kriteria yang bikin olahraga Sabtu pagi itu bertambah sehat.

Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.