Melawan Pilpres Satu Putaran
SEMAKIN dekat hari pemilihan umum, 14 Februari 2024, semakin banyak dan meluas sivitas akademika universitas dari berbagai kota mengkritik Presiden Jokowi. Kritik itu disampaikan terus terang, gamblang, lugas.
Intinya ialah Presiden Jokowi dinilai merusak demokrasi. Pencalonan anaknya, Gibran, sebagai cawapres, melalui perubahan Undang-Undang Pemilu oleh MK, adalah bukti terkuat awal rusaknya demokrasi. Orang-orang terpelajar itu mengajak rakyat menggunakan hak pilih sesuai hati nurani. Bukan atas dasar politik uang, bansos, atau intimidasi.
Seruan keadaban publik orang-orang terpelajar itu kian memperkuat keyakinan banyak kalangan, termasuk saya, akan terwujudnya pilpres dua putaran. Dalam perspektif ini kiranya publik perlu dan penting diajak mewaspadai masifnya gerakan pembentukan opini pilpres satu putaran.
‘Konstruksi’ opini publik pilpres satu putaran dilakukan sedikitnya dengan dua cara terbuka. Pertama, menggunakan baliho. Kedua, melalui survei.
Dalam hal menggunakan baliho, bintangnya ialah kakak atau adik, Gibran atau Kaesang. Tatkala Gibran yang jadi bintang baliho, cukup terpasang gambar dirinya sebagai cawapres, disertai lambang dua jari dan tulisan ‘Satu Putaran Sudah Dekat’.
Tatkala Kaesang yang jadi bintang baliho, tampil gambar dirinya, tulisan ‘Coblos Gibran Satu Putaran’, serta dua statement pokok: PSI partai Jokowi; Kaesang Ketua Umum PSI. Tanpa dua statement pokok itu, siapakah gerangan Kaesang itu?
Demikianlah, bukan Prabowo bintangnya, tapi dua anak Jokowi. Konstruksi ini masuk akal. Kenapa? Prabowo tiga kali ikut pilpres. Sekali sebagai cawapres. Dua kali sebagai capres. Semuanya kalah. Berbasiskan kenyataan ini, masuk akal kendati Prabowo sang capres, bukan dirinya yang dijadikan sosok utama dalam ‘jualan’ konstruksi pilpres satu putaran. Gibran dan Kaesang yang dijual, tepatnya yang jualan, nebeng ayahnya.
Apakah jualan pilpres satu putaran ini laku? Gibran sebagai cawapres tak punya hal ihwal menonjol yang merupakan reputasi dirinya. Terlebih lagi Kaesang. Apakah Jokowi masih laku? Ini pertanyaan bagus, tapi jawabannya jelek. Semakin banyak sivitas akademika universitas tak lagi memercayai Jokowi.
Bagaimana dengan suara rakyat di pinggir jalan? Ada pemandangan rakyat mengekspresikan pilihannya berbeda dengan Jokowi. Suatu hari rombongan mobil Presiden Jokowi lewat. Warga di pinggir jalan menyuarakan paslon no 3. Pada hari lain, di lain tempat, warga menyuarakan paslon no 1.
Konstruksi opini pilpres satu putaran juga dilakukan melalui survei. Inilah survei menghasilkan ‘temuan’, elektabilitas pasangan Prabowo-Gibran tembus 50%. Temuan yang tak saya percayai ini dibungkus dengan bahasa statistik, ‘tren kenaikan’.
Harus dikatakan survei tak selalu benar. Prediksi 16 lembaga survei pasangan Prabowo-Hatta Rajasa memenangi Pilpres 2014 ternyata salah. Yang menang pasangan Jokowi-JK.
Survei Pilpres 2016 di AS, Hillary Clinton bakal mengalahkan Trump. Ternyata salah. Yang menang Trump. Kenapa? Salah satu faktor ialah jajak pendapat tidak menimbang sampelnya berdasarkan tingkat pendidikan. Pilpres AS 2016 memperlihatkan perbedaan di antara pemilih kulit putih bergelar sarjana, yang umumnya lebih menyukai Harry Clinton, jika dibandingkan dengan mereka yang tidak memiliki gelar sarjana, yang umumnya lebih menyukai Trump.
Contoh klasik survei Pilpres AS 1948. Lembaga jajak pendapat memprediksi Gubernur New York, Thomas Dewey, menang mengalahkan Harry S Truman. Ternyata salah. Truman, petahana, terpilih kembali. Kesalahan prediksi lembaga survei itu diabadikan foto Truman tersenyum seraya menunjukkan headline halaman depan koran Chicago Daily Tribune. Judulnya: ‘Dewey Defeats Truman’.
Berdasarkan prediksi hasil survei, koran Tribune itu yakin benar, Dewey mengalahkan Truman. Karena itu, sebelum muncul hasil penghitungan suara, menghindar dari ancaman mogok buruh percetakan, koran itu buru-buru terbit dengan headline yang ternyata salah. Dua hari setelah pilpres, Truman berkereta api dari Missouri, pulang ke Washington. Kereta api berhenti di St Louis. Truman membeli koran Tribune itu, yang terbit dua hari lalu, yang headline-nya salah. Foto Truman yang menunjukkan halaman depan koran itu kiranya menjadi rekaman dua sejarah, yaitu sejarah prediksi survei yang ternyata salah dan sejarah redaksi surat kabar yang terlalu percaya hasil survei yang ternyata salah.
Survei bisa salah prediksi karena banyak hal. Antara lain, yang pertama, manner pewawancara. Yang kedua metode, apakah melalui telepon atau wawancara tatap muka. Yang ketiga margin of error (dalam %). Pertanyaannya, haruskah kita percaya margin of error? Should we believe margin of error? Demikian pertanyaan David Spiegelhalter, dalam bukunya, The Art of Statistics (Basic Books, New York, 2019:245).
David mengambil contoh survei memilih teh atau kopi untuk sarapan. Random sample 1.000 responden. Margin of error +/- 3%. Hasilnya 400 memilih kopi (40%), 600 memilih teh (60%). Ini berarti yang memilih kopi ialah 40% +/-3%, yaitu antara 37% dan 43%.
Kata David, hasil itu hanya akurat jika lembaga survei sungguh mengambil ‘a random sample’, setiap orang menjawab, mereka semua punya pendapat, dan mengatakan yang sebenarnya. “Jadi, meskipun kita dapat menghitung margin of error, kita harus ingat bahwa margin of error tersebut hanya berlaku jika asumsi kita secara kasar benar. Namun, bisakah kita mengandalkan asumsi ini?”
Kesalahan standar kiranya dapat direduksi dengan lebih banyak observasi, lebih banyak survei. Akan tetapi, kesalahan sistematis, demikian menurut David, kiranya tak dapat direduksi dengan lebih banyak observasi, tetapi harus menggunakan nonstatistik seperti expert judgement. Demikianlah lembaga survei perlu rendah hati. Tidak jemawa.
Dalam pandangan itu saya mengapresiasi keputusan lembaga survei Indopol tidak mengumumkan hasil survei elektabilitas capres-cawapres karena menemukan anomali. Survei nasional itu diselenggarakan 8-15 Januari 2024 dengan 1.240 responden. Sejumlah responden tidak bersedia menjawab karena takut. Intimidasi itu berakibat membengkaknya jumlah pemilih yang belum menentukan pilihan (undecided voter). Misalnya di Kabupaten Blitar, Jawa Timur, 85% tidak menjawab memilih paslon yang mana. Di Kediri, juga di Jawa Timur, 40%. Fakta itu baiklah membuat yang waras ekstra kritis membaca hasil survei di Jawa Timur.
Survei dapat dijadikan alat legitimasi bahwa paslon capres-cawapres yang menang satu putaran ialah hasil pilihan rakyat. Padahal hasil intimidasi atau hasil kecurangan. Bukan hasil pilpres jurdil, jujur dan adil. Baiklah dicermati, ‘juru bicara’ lembaga survei pendukung presiden tiga periode ialah pendukung pilpres satu putaran. Moral tulisan ini jelas melawan pilpres satu putaran buah konstruksi. Pilpres dua putaran memberi kesempatan lebih untuk rakyat menginternalisasikan pilihan mereka. Di putaran kedua, pileg sudah selesai. Ini juga kesempatan rakyat untuk lebih fokus mengawal suara pilpres agar yang terpilih, yang memimpin bangsa dan negara ini lima tahun ke depan, ialah sejujurnya hasil pilihan rakyat.
George Bernard Shaw bilang, ada tiga macam kebohongan: kebohongan, kebohongan terkutuk, dan statistik. Yang terakhir, kebohongan yang dapat dilakukan lembaga survei.